‘URF DARI SEGI OBJEKNYA
loading...
TUGAS INDIVIDU
USHUL FIQH
‘URF DARI SEGI OBJEKNYA
DISUSUN OLEH :
M. Ali Hasim 14124449
Hukum Ekonomi Syari’ah (HESy C)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN JURAI
SIWO METRO)
TA. 2015/2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis
panjatkan kehadirat Allah SWT bahwa dengan Rahmat dan Ridho-Nya penulis dapat
menyelesaikan “USHUL FIQH dengan materi “’URF DARI SEGI OBJEKNYA” sebagai
tugas Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) Semester tiga.
Sebelumnya penulis
ingin berterimakasih kepada:
1.
Drs.
Musnad Rozin, MH
- Teman-teman dan keluarga yang telah
membantu.
Adapun isi dari
Makalah ini adalah tentang’URF
DARI SEGI OBJEKNYA.
Semoga Makalah ini
dapat menambah wawasan kita semua dan dapat memenuhi kriteria tugas yang bapak berikan serta dapat menjadi nilai tambah untuk penulis.
Tak ada yang sempurna,
begitu pula dengan penulisan makalah ini. Oleh sebab itu penulis menerima kritik positif dari pembaca sebagai perbaikan bagi
penulis dimasa yang akan datang. Semoga makalah ini bermanfat.
Akhir kata penulis ucapkan “Terima Kasih
DAFTAR
ISI
COVER
KATA
PENGANTAR....................................................................................................... i
DAFTAR
ISI.................................................................................................................... ii
BAB
I................................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN............................................................................................................ 1
A.LATAR
BELAKANG...................................................................................... 1
B.RUMUSAN
MASALAH................................................................................. 2
C.TUJUAN
MASALAH...................................................................................... 2
BAB
II.............................................................................................................................. 3
PEMBAHASAN............................................................................................................... 3
A.PENGERTIAN
‘URF....................................................................................... 3
B.MACAM
MACAM URF.................................................................................. 4
C.PERMASALAHANNYA................................................................................ 7
D.KEDUDUKAN
URF....................................................................................... 8
BAB
III............................................................................................................................. 9
PENUTUP......................................................................................................................... 9
A.KESIMPULAN................................................................................................ 9
B.SARAN............................................................................................................. 9
DAFTAR
PUSTAKA..................................................................................................... 10
BAB I
PENDAHULUAN
- LATAR
BELAKANG
Kata ‘Urf secara etimologi (bahasa) berasal dari kata‘arafa,
ya‘rufu sering diartikan dengan al-ma‘ruf ( ﺍَﻟْﻤَﻌْﺮُﻭﻑُ ) dengan arti sesuatu yang dikenal.
Pengertian dikenal lebih dekat kepada pengertian diakui oleh orang lain. Sesuatu yang
di pandang baik dan
diterima oleh akal sehat. Kata ‘urf sering disamakan dengan kata adat, kata adat berasal dari bahasa Arab ﻋَﺎﺩَﺓٌ ; akar katanya: ‘ada, ya‘udu ( ﻋَﺎﺩَ
- ﻳَﻌُﻮْﺩُ ) mengandung arti perulangan. Oleh
karena itu sesuatu yang baru
dilakukan satu kali belum dinamakan
adat. Kata ‘urf pengertiannya tidak melihat dari segi berulang kalinya suatu perbuatan dilakukan, tetapi dari segi bahwa
perbuatan tersebut sudah
sama-sama dikenal dan diakui oleh orang banyak. Sedangkan
Kata ‘Urf secara terminologi,
seperti yang dikemukakan oleh
Abdul Karim Zaidah berarti : Sesuatu yang tidak asing
lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa
perbuatan atau perkataan Landasan hukum ‘Urf ‘Urf tergolong salah satu sumber
hukum dari ushul fiqih
yang diambil dari
intisari Al-Qur’an. Kata
al-‘Urf dalam ayat tersebut, yang manusia disuruh mengerjakannya, oleh Ulama Ushul fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik
dan telah menjadi kebiasaan
masyarakat. Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah
dianggap baik sehingga telah
menjadi tradisi dalam suatu masyarakat. Kata al-ma‘ruf artinya sesuatu yang diakui baik oleh hati. Ayat di atas
tidak diragukan lagi
bahwa seruan ini didasarkan pada pertimbangan kebiasaan yang baik pada umat, dan hal yang menurut kesepakatan mereka berguna bagi kemaslahatan mereka. Kata al-ma‘ruf
ialah kata umum yang mencakup
setiap hal yang diakui. Oleh karena itu kata al-ma‘ruf hanya disebutkan untuk hal yang sudah merupakan perjanjian umum
sesame manusia, baik dalam soal mu‘amalah maupun adat istiadat. Menurut hasil penelitian al-Tayyib
Khudari al-Sayyid, guru
besar Ushul Fiqih di Universitas Al-Azhar Mesir dalam karyanya fi al-ijtihad ma la nassa fih, bahwa mazhab yang dikenal banyak
menggunakan ‘Urf sebagai
landasan hukum adalah kalangan Hanafiyah dan kalangan malikiyyah, dan selanjutnya oleh kalangan Hanabilah dan kalangan
Syafi’iyah. Menurutnya, pada
prinspnya mazhab-mazhab besar fiqih tersebut sepakat menerima adat istiadat sebagai landasan pembentukan hokum, meskipun
dalam jumlah dan
rinciannya terdapat perbedaan pendapat di antara mazhab-mazhab tersebut, sehingga ‘Urf dimasukkan kedalam kelompok
dalil-dalil yang diperselisihkan
dikalangan ulama.
- RUMUSAN
MASALAH
Apa saja ‘urf
dari segi objeknya?
- TUJUAN
MASALAH
Mengetahui ‘urf
dari segi objek nya.
BAB II
PEMBAHASAN
- PENGERTIAN
‘URF
Kata ‘Urf secara etimologi (bahasa)
berasal dari kata‘arafa, ya‘rufu sering diartikan dengan al-ma‘ruf ( ﺍَﻟْﻤَﻌْﺮُﻭﻑُ ) dengan arti sesuatu
yang dikenal.
Pengertian dikenal lebih dekat kepada
pengertian diakui oleh orang
lain. Sesuatu yang di pandang baik dan diterima oleh akal sehat. Kata ‘urf sering disamakan dengan kata adat, kata adat berasal dari bahasa Arab ﻋَﺎﺩَﺓٌ ; akar katanya:
‘ada, ya‘udu ( ﻋَﺎﺩَ - ﻳَﻌُﻮْﺩُ
) mengandung arti perulangan. Oleh
karena itu sesuatu yang baru
dilakukan satu kali belum dinamakan
adat. Kata ‘urf pengertiannya tidak melihat dari segi berulang kalinya suatu perbuatan dilakukan, tetapi dari segi bahwa
perbuatan tersebut sudah
sama-sama dikenal dan diakui oleh orang banyak. Sedangkan
Kata ‘Urf secara terminologi,
seperti yang dikemukakan oleh
Abdul Karim Zaidah berarti : Sesuatu yang tidak asing
lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa
perbuatan atau perkataan.[1]
Landasan hukum ‘Urf ‘Urf tergolong salah satu sumber
hukum dari ushul fiqih
yang diambil dari
intisari Al-Qur’an. Kata
al-‘Urf dalam ayat tersebut, yang manusia disuruh mengerjakannya, oleh Ulama Ushul fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik
dan telah menjadi kebiasaan
masyarakat. Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah
dianggap baik sehingga telah
menjadi tradisi dalam suatu masyarakat. Kata al-ma‘ruf artinya sesuatu yang diakui baik oleh hati. Ayat di atas
tidak diragukan lagi
bahwa seruan ini didasarkan pada pertimbangan kebiasaan yang baik pada umat, dan hal yang menurut kesepakatan mereka berguna bagi kemaslahatan mereka. Kata al-ma‘ruf
ialah kata umum yang mencakup
setiap hal yang diakui. Oleh karena itu kata al-ma‘ruf hanya disebutkan untuk hal yang sudah merupakan perjanjian umum sesame manusia, baik dalam soal mu‘amalah maupun adat istiadat. Menurut hasil penelitian al-Tayyib
Khudari al-Sayyid, guru
besar Ushul Fiqih di Universitas Al-Azhar Mesir dalam karyanya fi al-ijtihad ma la nassa fih, bahwa mazhab yang dikenal banyak
menggunakan ‘Urf sebagai
landasan hukum adalah kalangan Hanafiyah dan kalangan malikiyyah, dan selanjutnya oleh kalangan Hanabilah dan kalangan
Syafi’iyah. Menurutnya, pada
prinspnya mazhab-mazhab besar fiqih tersebut sepakat menerima adat istiadat sebagai landasan pembentukan hokum, meskipun
dalam jumlah dan
rinciannya terdapat perbedaan pendapat di antara mazhab-mazhab tersebut, sehingga ‘Urf dimasukkan kedalam kelompok
dalil-dalil yang diperselisihkan
dikalangan ulama.[2]
Pada dasarnya, syariat Islam dari
masa awal banyak menampung
dan mengakui adat atau tradisi itu selam tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Kedatangan Islam bukan
menghapuskan sama sekali tradisi
yang telah menyatu dengan masyrakat.
Tetapi secara selektif ada yang diakui dan dilestarikan serta ada pula yang dihapuskan. Misal adat kebiasaan yang diakui, kerja
sama dagang dengan cara berbagi
untung (al-mudarabah). Praktik seperti ini telah berkembang di bangsa Arab sebelum Islam. Berdasarkan kenyataan ini,
para Ulama menyimpulkan bahwa
adat istiadat yang baik secara sah dapat dijadikan landasan hukum, bilamana memenuhi beberapa persyaratan.[3]
- MACAM
MACAM URF
Para Ulama Ushul fiqh membagi ‘Urf kepada tiga macam :
- DARI
SEGI OBJEKNYA
Dari segi objeknya ‘Urf dibagi kepada : al-‘urf al- lafzhi (kebiasaan yang menyangkut
ungkapan) dan al-‘urf al-amali (
kebiasaan yang berbentuk perbuatan).
- Al-‘Urf al-Lafzhi.
Adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ungkapan
tertentu dalam mengungkapkan
sesuatu, sehingga makna ungkapan
itulah yang dipahami dan terlintas
dalam pikiran masyarakat.
Misalnya ungkapan “daging” yang berarti daging sapi; padahal kata-kata “daging” mencakup seluruh daging yang ada.
Apabila seseorang
mendatangi penjual daging, sedangkan penjual daging itu memiliki bermacam-macam daging, lalu pembeli mengatakan “
saya beli daging 1 kg”
pedagang itu langsung mengambil daging sapi, karena kebiasaan masyarakat setempat telah mengkhususkan penggunaan kata daging
pada daging sapi.
- Al-‘urf al-‘amali.
Adalah kebiasaan
masyarakat yang berkaitan
dengan perbuatan biasa atau mu’amalah keperdataan. Yang dimaksud “perbuatan biasa” adalah kebiasaan masyrakat
dalam masalah kehidupan mereka
yang tidak terkait dengan kepentingan
orang lain, seperti kebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentu dalam satu minggu, kebiasaan masyarakat memakan makanan
khusus atau meminum
minuman tertentu dan kebiasaan masyarakat dalam memakai pakain tertentu dalam acara-acara khusus. Adapun yang berkaitan dengan mu’amalah perdata adalah kebiasaan masyrakat dalam
melakukan akad/ transaksi
dengan cara tertentu. Misalnya kebiasaan masyrakat dalam berjual beli bahwa barang-barang yang dibeli itu diantarkan kerumah
pembeli oleh penjualnya, apabila
barang yang dibeli itu berat dan besar, seperti lemari es dan peralatan rumah tangga lainnya, tanpa dibebani biaya tambahan.[4]
- DARI
SEGI CAKUPNYA
Dari segi cakupannya, ‘urf terbagi dua yaitu al-‘urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat umum)
dan al-‘urf al-khash (kebiasaan
yang bersifat khusus).
- Al-‘urf al-‘am
Adalah kebiasaan
tertentu yang bersifat umum dan
berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan diseluruh daerah. Misalnya dalam jual beli mobil, seluruh alat yang
diperlukan untuk memperbaiki
mobil seperti kunci, tang, dongkrak, dan ban serep termasuk dalam harga jual, tanpa akad sendiri dan biaya tambahan. Contoh
lain adalah kebiasaan yang
berlaku bahwa berat barang bawaan bagi setiap penumpang pesawat terbang adalah duapuluh kilogram.
- Al-‘urf al-khash
Adalah kebiasaan
yang berlaku di wilayah
dan masyarakat tertentu. Misalnya dikalangan para pedagang apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang dibeli
dapat dikembalikan dan
untuk cacat lainnya dalam barang itu, konsumen tidak dapat mengembalikan barang tersebut. Atau juga kebiasaan mengenai penentuan
masa garansi terhadap barang
tertentu.
- DARI
SEGI KABSAHANYA DARI PANDANGAN SYARA’
Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf terbagi dua;
- Al-‘urf al-Shahih (Yang sah).
Adalah kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah
masyarakat yang tidak bertentangan
dengan nash (ayat atau hadis) tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudarat kepada mereka. Dengan
kata lain, 'urf yang tidak
mengubah ketentuan yang haram menjadi halal atau sebaliknya. Misalnya, dalam masa pertunangan pihak laki-laki
memberikan hadiah kepada
pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin.
- Al-‘urf al-fasid (Yang rusak).
Adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam
syara’. Kebalikan dari
Al-'urf ash-shahih, maka adat dan kebiasaan yang salah adalah yang menghalalkan yang haram, dan mengharamkan yang
halal. Misalnya, kebiasaan
yang berlaku dikalangan pedagang
dalam menghalalkan riba, seperti peminjaman uang antara sesama pedagang. Uang yang dipinjam sebesar sepuluh juta
rupiah dalam tempo satu bulan,
harus dibayar sebanyak sebelas juta rupiah apabila jatuh tempo, dengan perhitungan bunganya 10%. Dilihat dari segi
keuntungan yang di raih
peminjam, penambahan utang sebesar 10% tidaklah memberatakan, karena keuntungan yang diraih dari sepuluh juta rupaiah tersebut
mungkin melebihi bunganya
yang 10%. Akan tetapi praktik seperti ini bukanlah kebiasaan yang bersifat tolong menolong dalam pandangan syara’,
karena pertukaran barang
sejenis, menurut syara’ tidak boleh saling melebihkan[5].
dan praktik seperti ini adalah praktik peminjaman yang berlaku di zaman jahiliyah, yang dikenal dengan sebutan Riba
al-nasi’ah (riba yang
muncul dari hutang piutang). Oleh sebab itu,
kebiasaan seperti ini, menurut Ulama Ushul fiqh termasuk dalam kategori al-‘urf
al-fasid[6]. Para Ulama sepakat, bahwa al-urf
al-fasid ini tidak dapat
menjadi landasan hukum, dan kebiasaan tersebut batal demi hukum.
- PERMASALAHANYA
‘Urf yang berlaku
di tengah-tengah msyarakat adakalanya bertentangan dengan nash (ayat atau hadis) dan adakalanya bertentangan
dengan dalil syara’ lainnya.
Dalam persoalan pertentangan ‘urf dengan nash, para ahli ushul fiqh merincinya sebagai berikut :
Pertentangan ‘urf dengan nash yang bersifat khusus Apabila pertentangan ‘urf dengan nash yang bersifat khusus menyebabkan tidak berfungsinya
hukum yang dikandung nash,
maka ‘urf tidak dapat diterima. Misalnya, kebiasaan di zaman jahiliyyah dalam
megadopsi anak, dimana anak yang di adopsi itu statusnya sama dengan anak kandung,
sehingga mereka mendapat
warisan apabila ayah angkatnya wafat. ‘urf seperti ini tidak berlaku dan tidak dapat diterima. Pertentangan ‘urf dengan nash yang
bersifat umum. Menurut Musthafa ahmad Al-Zarqa’,
apabila ‘urf telah ada ketika
datangnya nash yang bersifat umum, maka harus dibedakan antara ‘urf al-lafzhi dengan ‘urf al-‘amali, apabila ‘urf tersebut
adalah ‘urf al- lafzhi,
maka ‘urf tersebut bias diterima. Sehingga nash yang umum itu dikhususkan sebatas ‘urf al- lafzhi yang telah berlaku tersebut,
dengan syarat tidaka ada
indikator yang menunjukkan nash umum itu tidak dapat di khususkan olehh ‘urf.
Misalnya:
kata-kata shalat, puasa, haji, dan jual beli, diartikan dengan makna ‘urf, kecuali ada
indikator yang menunjukkan bahwa
kata-kata itu dimaksudkan sesuai
dengan arti etimologisnya. ‘urf yang terbentuk belakangan dari nash umum yang bertentangan dengan ‘urf tersebut.
Apabila suatu ‘urf terbentuk
setelah datangnya nash yang bersifat umum dan antara keduanya terjadi pertentangan, maka seluruh ulama fiqih sepakat
menyatakan ‘urf seperti
ini, baik yang bersifat lafzhi (ucapan) maupun yang bersifat ‘amali (praktik), sekalipun ‘urf
tersebut bersifat umum,
tidak dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum syara’, karena keberadaan ‘urf ini muncul ketika nash syara’ telah
menentukan hokum secara
umum.[7]
- KEDUDUKAN
‘URF
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ‘urf yang sah, yaitu ‘urf yang tidak bertentangan
dengan syari'at. Baik
yang menyangkut dengan ‘urf umum dan ‘urf khusus, maupun yang berkaitan dengan ‘urf lafazh dan ‘urf amal, dapat dijadikan hujjah
dalam menetapkan hukum
syara’[8].
BAB III
PENUTUP
- KESIMPULAN
‘Urf yang berlaku di tengah-tengah msyarakat adakalanya bertentangan dengan nash
(ayat atau hadis) dan
adakalanya bertentangan dengan dalil syara’ lainnya. Dalam persoalan pertentangan ‘urf dengan nash, para ahli ushul fiqh
merincinya sebagai berikut
:
Pertentangan ‘urf dengan nash yang bersifat khusus Apabila pertentangan ‘urf dengan nash yang bersifat khusus menyebabkan tidak berfungsinya
hukum yang dikandung nash,
maka ‘urf tidak dapat diterima. Misalnya, kebiasaan di zaman jahiliyyah dalam megadopsi anak, dimana anak yang di
adopsi itu statusnya sama
dengan anak kandung, sehingga mereka mendapat warisan apabila ayah angkatnya wafat. ‘urf seperti ini tidak berlaku
dan tidak dapat diterima. Pertentangan ‘urf dengan nash yang
bersifat umum. Menurut Musthafa ahmad Al-Zarqa’,
apabila ‘urf telah ada ketika
datangnya nash yang bersifat umum, maka harus dibedakan antara ‘urf al-lafzhi dengan ‘urf al-‘amali, apabila ‘urf tersebut
adalah ‘urf al- lafzhi,
maka ‘urf tersebut bias diterima. Sehingga nash yang umum itu dikhususkan sebatas ‘urf al- lafzhi yang telah berlaku tersebut,
dengan syarat tidaka ada
indikator yang menunjukkan nash umum itu tidak dapat di khususkan olehh ‘urf.
- SARAN
Apabila dalam penulisan makalah
tugas individu ini terdapat berbagai kesalahan atau penulisan saya sebagai
penulis meminta maaf yang sebesar besarnya. Dan tak lupa saya meminta saran
beserta kritik agar tercapai nya makalah yang baik serta benar.
DAFTAR PUSTAKA
Ushul Fiqh II, Amir Syarifuddin, Jakarta, logos wacana Ilmu, 1999
Ilmu Ushul Fiqh, Abdul Wahab Khallaf, Jakarta: PT.Rineka
Cipta, 1993
Ushul Fiqh jilid 2, Amir Syarifuddin, Jakarta:Kencana. Cet.
6, 2011
Ushul Fiqih, Muhammad Abu Zahrah, Jakarta: PT.Pustaka
Firdaus, 1994
Ushul Fiqh 1, Nasrun Haroen, Ciputat: LogosPublishing House,
1996
[2]
^ Prof.Dr. Satria Effendi, M. Zein, MA, Ushul fiqih,
Jakarta: kencana, 2005
[3]
^ Prof.Dr. Satria Effendi, M. Zein, MA, Ushul fiqih,
Jakarta: kencana, 2005
0 Response to "‘URF DARI SEGI OBJEKNYA"
Post a Comment