unsur unsur ijtihad

loading...
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT bahwa dengan Rahmat dan Ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan “USHUL FIQH dengan materi “UNSUR UNSUR IJTIHAD” sebagai tugas Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) Semester tiga.
            Sebelumnya penulis ingin berterimakasih kepada:
1.      Drs. Musnad Rozin, MH
  1. Teman-teman dan keluarga yang telah membantu.
Adapun isi dari Makalah ini adalah tentang UNSUR UNSUR IJTIHAD .
Semoga Makalah ini dapat menambah wawasan kita semua dan dapat memenuhi kriteria tugas yang bapak berikan serta dapat menjadi nilai tambah untuk penulis.
Tak ada yang sempurna, begitu pula dengan penulisan makalah ini. Oleh sebab itu penulis menerima kritik positif dari pembaca sebagai perbaikan bagi penulis dimasa yang akan datang. Semoga makalah ini bermanfat.
Akhir kata penulis ucapkan “Terima Kasih


















DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR....................................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................................... ii
BAB I................................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN............................................................................................................ 1
A.LATAR BELAKANG...................................................................................... 1
B.RUMUSAN MASALAH................................................................................. 1
C.TUJUAN MASALAH...................................................................................... 1
BAB II.............................................................................................................................. 2
PEMBAHASAN............................................................................................................... 2
A.DEFINISI IJTIHAD......................................................................................... 2
B.UNSUR UNSUR IJTIHAD............................................................................. 4
BAB III........................................................................................................................... 10
PENUTUP....................................................................................................................... 10
A.KESIMPULAN.............................................................................................. 10
B.SARAN........................................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 11



BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG           
            Ijtihad merupakan dinamika ajaran islam yang keberadaannya harus di pertahankan untuk menciptakan kehidupan yang kretif. Hal ini disebabkan al-Qur`an hanya memuat permasalahan-permasalahan secara global. Dan manusia harus mampu menterjemahkannya di zaman modern ini, seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Ijtihad sangat diperlukan karena permasalahan-permasalahan semakin kompleks dan semakin mendesak untuk diketahui segera apa hukumnya?,dan sering kali problem-problem yang muncul itu belum ada nash-nash yang secara eksplisit dalam Syara`.
            Oleh karena itu ijtihad sangat perlu dilakukan untuk menjawabnya. Sedangkan ai-Qur`an selalu relevan dengan keadaan zaman dan dinamika masyarakat.untuk itu kita di tuntut untuk selalu berijtihad dan terus menerus melakukan kajian secara deduktif  untuk mencari bentuk serapan nash-nash yang sesuai dengan  perkembangan zaman dewasa ini.
B. RUMUSAN MASALAH
Apa saja pembagian unsur unsur dalah Ijtihad

C. TUJUAN MASALAH
Untuk mengetahui pembagian unsur unsur dalam materi Ijtihad



BAB II
PEMBAHASAN
A.     DEFINISI IJTIHAD
Ijtihad secara etimologi berasal dari kata yang Artinya : mencurahkan segala kemampuan dengan optimal,dan mengerahkan segala kemampun dalam menyatakan sesuatu dengan susah payah.
Sedangkan ijtihad secara terminologi;
1.      seperti yang dikemukakan Khasbullah ;
Artinya ; usaha seorang faqih dengan sungguh-sungguh dalam menggali hokum Syara` dari dalilnya, sehingga dirinya tidak mampu lagi mengupayakan lebih dari itu.[1]
Definisi yang diketengahkan Aly Khasbullah ini menekankan pada seorang faqih untuk menggali hokum Syara dari dalilnya .
2.      Definisi yang diketengahkan oleh al-Ghozali ;`
Artinya;upaya maksimal seorang mujtahid dalam memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum Syara`.[2]
Definisi yag diketengahkan oleh al-Ghozali diatas lebih bersifat umum ,dan ditekankan pada adanya upaya yang maksimal bagi seorang mujtahid untuk mengetahui hukum-hukum Syara`.
3.      Definisi yang diketengahkan Abu Zahrah
Artinya: upaya seorang faqih yang menggunakan seluruh kemampuanya  untuk menggali hukum yang bersifat `amaliah (praktis) dari dalil-dalil yang terperinci.[3]
Definisi yang diketengahkan Abu Zahrah ini lebih menekankan pada subyekny adalah seorang faqih dan lebih spesifik dari penjelasan sebelumnya yaitu pada hokum-hukum yang bersifat `amaliah(praktis).

4.      Definisi yang diketengahkan oleh Abdul Whab Kholaf ;
Artinya; mencurahkan segala kemampuan untuk sampai kepada hukum Syara`[4]
Defini yang diketengahkan oleh Abdul Wahab Kholaf ini hanya menekankan pada upaya secara optilal untuk sampai kepada hokum Syara` dari dalil yang terperinci.
5.      Definisi yang diketengahkan oleh al-Amidi ,sebagai berikut ;
Artinya; mencurahkan segala kemampuan dalam mencari hukum Syara`yang bersifat dzanni , sehingga dirinya tidak mampu lagi mengupayakan yang lebih dari itu.[5]
Definisi yang diketengahkan al-Amidi mengdentifikasikan bahwa objek ijtihad adalah masalah-masalah yang bersifat dzanni, sehingga hasilnyapun tidak mutlak benar.   
Dari definisi-definisi yang diketengahkan oleh para ulama ahli Ushul Fiqih diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa ijtihad adalah upaya optimal seorang faqih untuk menyatakan suatu hukum yang bersifat amaliah/praktis dari dalil-dalil Syara`yang terperinci pada masalah-masalah yang belum ada nash-nashnya yang dijelaskan secara eksplisit dalam al-Qur`an dan nash-nash yang bersifat dzanni.
Dari pengertian ijtihad diatas mengandung unsur-unsur sebagai berikut;
1)      Upaya optimal oleh seorang mujtahid/faqih
Ijtihad tidak akan mungkin terlaksana tanpa adanya upaya yang sunggu-sungguh dan optimal seorang yang akan berijtihad dan dituntut untuk menguasai berbagai disiplin ilmu yang diperlukan oleh karena itulah imam al-Ghozali dalam definisinya menyebut kata” al-mujtahid”  
2)      Objek-objeknya
Dari pengertian diatas objek ijtihad adalah pada hukum-hukum yang bersifat amaliah/praktis, yaitu dalam bidang fiqih saja, oleh karena itu masalah-masalah selain fiqih seperti aqidah tidak termasuk objek ijtihad .hal ini menunjukan bahwa ijtihad yang dilakukan ulama Ushul Fiqih bukan ijtihad yang bersifat holistik.
3)        Nilai kebenarannya adalah dzanni
Kebenaran yang dihasilkan ijtihad tidak bersifat mutlak, oleh karena itu tidak menutup kemungkinan produk yang dihasilkan oleh akal terdapat adanya kesalahan. Disini dapat di ketahui bahwa Nabi Muhammad SAW.sebenarnya bukan seorang mujtahid, sebab apa yang diketengahkan Nabi Muhammad SAW.nilai kebenarannya adalah mutlak.

B.     UNSUR-UNSUR IJTIHAD
Ijtihad dilihat dari segi objek kajianya dan relevansinya dengan masalah-masalah kontemporer.
Menurut al-Syathibi[6] (w 770 H/1388 M), Tokoh Ulama Ushul Malikiyah membagi menjadi dua:  
1.      Ijtihad Istinbathi
Ijtihad istinbathi adalah ijtihad yang dilakukan mendasarkan pada nash-nash Syara`dalam meneliti dan menyimpulkan ide hukum yang terkandung di dalamnya.Dan hasil ijtihad yang diperoleh tersebut selanjutnya menjadi tolak ukur dan diterapkan dalam suatu permasalahan hukum yang dihadapi . Oleh karena ijtihad ini berhadapan langsung dengan nash-nash Syara` maka seorang mujtahid harus memenuhi persyaratan-persyaratan untuk berijtihad dengan sempurna, karena sulitnya untuk mencapai persyaratan-persyaratan itu menurut al-Sathibi mujtahid dalam ijtihad istinbath di zaman modern ini kemungkinan terputus[7]. Khususnya sekarang ini dengian diperketat dan dipersempitnya spesialisasi ilmu sehingga cenderung seseorang hanya menguasai satu bidang ilmu saja. Berbeda dengan Ulama-ulama zaman terdahulu pada umumnya menguasai berbagai bidang ilmu secara integral.
2.      Ijtihad Tathbiqi
            Jika ijtihad isthinbati mendasrkan pada nash-nash, maka ijtihad tathbiqi mendasarkan pada suatu permasalahan yang terjadi dilapangan . Dalam hal ini seorang mujtahid mujtahid berhadapan langsung dengan objek hukum dimana ide atau subtansi hukum dari produk ijtihad istinbathi akan diterapkan.
            Bagi seorang mujtahid ijtihad ini dituntut untuk memahami Maqashid as-Syar`i secara  mendalam ,hal ini dimaaksudkan apakah ide hukum yang dihasilkan jika diterapkan pada kaus yang dihadapi dapan mencapai Maqashid as-Syar`i atau tidak. Menurut al-Syathibi ijtihad inilah yang nantinya takkan terputus sampai kapanpun, sebab hal ini menyangkut hubungan masalah-masalah kehidupan sepanjang masa.
            Ijtihad dari segi relevansinya menurut Yusus Qordlowi (ahli fiqih kontemporer dari Mesir)bahwa ijtihad yang perlu kita lakukan untuk masa kini ada dua macm:
1.      Ijtihad Intiqa`i ialah memilih dari satu pendapat dari beberapa pendapat terkuat yang terdapat dalam warisan fiqih islam yang penuh dengan fatwa dan putusan hukum. Pendapat-pendapat ahli Fiqih terdahulu disamping ada yang tidak sesuai juga masih banyak yang sesuai diterapkan di zaman modern ini, tidak jarang dalam satu permasalahan dapat didapatkan lebih dari saatu ketetapan hukum.
            Oleh karena itu seorang mujtahid dengan upaya yang cermat bisa memilih pendapat yang lebih kuat dan relevan untuk diterapkan dewasa ini[8]. Dalam hal ini seorang mujtahid tidak terikat oleh salah satu pendapat ulama tertentu, akan tetapi ia melihat semua pendapat yang ada, membandingkan dan meneliti dalil-dalil yang mereka ketengahkan, kemudian secara obyektif memilih salah satu pendapat yang paling kuat dan lebih cocok untuk diterapkan.
2.      Ijtihad Insyai ialah pengambilan kesimpulan hukum baru dari suatu persoalan, yang pernah dikemukakan oleh ulama-ulama terdahulu, baik persoalan baru atau lama.Jika masalah yang sedang dikaji itu baru yang sama sekali belum pernah ditemukan kasus ataupun hukumnya dalam khazanah fiqih islam, maka mujtahid Munsyi berupaya untuk menentukan hukumnya dengan meneliti dan memahami secara menyeluruh kasus yang dihadapi, sehingga dengan tepat ia akan menentukan hukumnya sesuai yang dikehendaki tujuan Syari`at yang ada .
            Jika masalah yang sedang dikaji oleh mujtahid Munsyi itu kasus dan hukumnya pernah diketengahkan oleh para ulama sebelumnya, maka seorang mujtahid Munsyi dapat melakukan ijtihad dengan mengeluarkan pendapat baru diluar pendapat yang sudah ada. Pada zaman modern ini pembahasan dan penelitian harus dilakukan dengan melibatkan berbagai ahli yang terkait dalam bidang masalah yang dihadapi, hal ini dimaksudkan agar masalah yang sedang dicari hukumnya dapat dikaji secara detail dari berbagai aspeknya, inilah yang disebut ijtihad jama`i yang menurut Muhammad Iqbal[9] (w.1357 H/1938 M) tokoh modernis Islam Pakistan, merupakan cara yang paling tepat untuk menggerakan spirit dalam sistem hukum islam yang selama telah hilangdari umat Islam.
            Pembagian ijtihad, sebagaimana yang dijelaskan al-Syātibi,[10] terbagi kepada tiga bagian dilihat dari segi dalil yang dijadikan pedoman, yaitu:
3.      Ijtihad bayānī, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ dari nash-nash syāri’ (Al-Qur’an dan al-Sunnah). Ijtihad ini untuk menemukan hukum yang terkandung dalam nash, namun sifatnyazhannī, baik dari segi ketetapannya maupun dari segi penunjukannya. Lapangan ijtihād bayāni ini hanya dalam batas pemahaman terhadap nash dan menguatkan salah satu diantara beberapa pemahaman yang berbeda.
4.      Ijtihad qiyāsī, yang artinya ijtihad yang dilakukan untuk menggali dan menemukan hukum terhadap permasalahan atau suatu kejadian yang tidak ditemukan dalilnya secara tersurat dalam nash –baikqat'i ataupun zhanni- juga tidak ada ijma' yang telah menetapkan hukumnya. Ijtihad dalam hal ini untuk menetapkan hukum suatu kejadian dengan merujuk pada kejadian yang telah ada hukumnya, karena antara dua peristiwa itu ada kesamaan dalam 'illat hukumnya, atau biasa disebut qiyās.
5.      Ijtihad Istishlāhī, yaitu ijtihad yang dilakukan untuk menggali, menemukan, dan merumuskan hukum syar'i dengan cara menetapkan kaidah kulli untuk kejadian yang ketentuan hukumnya tidak terdapat dalam nash baik qath'i maupun zhanni-, dan tidak memungkinkan mencari kaitannya dengan nash yang ada, juga belum diputuskan dalam ijma'. Dasar pegangan dalam ijtihad macam ketiga ini hanyalah jiwa hukum syara' yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan umat, baik dalam bentuk mendatangkan manfaat ataupun menghindarkan madharat.
Mengenai pembagian ijtihad diatas, Taqiy al-Dīn al-Hakīm dalam al-Ushūl al-‘Āmmah li al-Fiqh al-Muqārin, mengomentari bahwa ijtihad bayāni tidak mencakup syarat-syarat pembagian yang mantiqi, karena tidak memenuhi kapasitas pembagian. Dimana ijtihad ini tidak mencakup ijtihad istihsāni dan lainnya dari dalil-dalil istinbāt yang menjadi pegangan para fuqaha. Kemudian mengenai ijtihad qiyāsī, ia berkomentar bahwaqiyas bukan satu bagian ijtihad bayani dari keseluruhan bagian-bagian qiyās. Tetapi pada sebagiannya qiyāsmenjadi bagian dari ijtihad, seperti qiyās yang didasarkan pada nash yang tersurat dengan menggunakan ‘illatatau yang mengambil keumuman hukum dari keumuman atau kemutlakan illatnya untuk semua yang berkaitan dengannya.[11]
Sedangkan ijtihad istishlāhī merupakan nama lain dari ijtihad bayāni, karena sama-sama menyimpulkan hukum dari dalil-dalil yang umum, seperti “Lā Dharāra wa lā dhirāra” (jangan membahayakan diri dan orang lain). Oleh karena itu, menurut al-Hakīm, ijtihad itu terbagi kepada dua bagian saja. Pertama,ijtihad ‘aqlī, yaitu ijtihad yang argumentasinya atas dasar akal dan logika yang tidak bisa diterima menjadi hukum syara’, seperti kebebasan akal dan kaidah-kaidah yang menolak bahaya yang diperselisihkan atau jeleknya sanksi hukum tanpa adanya penjelasan dan lainnya. Kedua, ijtihad syar’ī, yaitu argumentasi yang didasarkan atas argumentasi-argumentasi syar’i. Yang termasuk ijtihad ini adalah ijma’, qiyas, istihsān, istishlāh, ‘urf, istishhāb, dan lainnya.[12]
Sedangkan melihat bentuk ijtihad dari sisi mungkin atau tidak mungkin terhenti kegiatannya, al-Syatibi membaginya menjadi dua macam. Pertama, ijtihad yang tidak mungkin terhenti kegiatannya. Ijtihad dalam bentuk ini adalah yang disebut dengan tahqīq al-manāth atau ijtihad dalam menjelaskan hukum. Kedua, ijtihad yang mungkin terhenti kegiatannya. Pada bentuk kedua ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu (1) tanqīh al-manāth yang artinya upaya mujtahid untuk memilih berbagai ‘illat yang ditemukan untuk ditetapkan sebagai ide hukum suatu ayat, dan (2) takhrīj al-manāth yang artinya upaya mujtahid untuk menggali berbagai ‘illat dari suatu hukum.[13]
Kemudian ijtihad dilihat dari sisi hasil yang dicapai terbagi kepada dua bentuk. Pertama, ijtihadmu’tabar, yaitu ijtihad yang secara hukum dapat dipandang sebagai penemuan hukum, yakni ijtihad yang dihasilkan oleh pakar yang mempunyai kemampuan untuk berijtihad berdasarkan syarat-syarat yang ditetapkan. Kedua, ijtihad ghair mu’tabar, yaitu ijtihad yang secara hukum tidak dapat dipandang sebagai cara dalam menemukan hukum. Ijtihad dalam bentuk ini adalah ijtihad yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk berijtihad berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan.[14]














BAB III
PENUTUP
A.     KESIMPULAN
 Ijtihad merupakan khazanah keislaman harus terus kita lestarikan karena jika tidak maka akan terjadi stagnasi.  Ijtihad dilakukan oleh seorang faqih dengan optimal untuk menyatakan hukum-hukum Syara` yang bersifat amaliah / praktis pada masalah-masalah yang bersifat dzanni dan yang belum ada nash-nashnya sama sekali. Ijtihad itu dibagi menjadi dua jika dilihat dari segi objek yang dikaji dan segi relevansinya dengan masalah-masalah kontempor yaitu: ijtihad istinbathi dan ijtihad tathbiqi, dan jika dilihat dari segi relevansinya yaitu:ijtihad intiqa`I dan ijtihad Insya`i .
B.     SARAN
Apabila dalam penulisan makalah tugas individu ini terdapat berbagai kesalahan atau penulisan saya sebagai penulis meminta maaf yang sebesar besarnya. Dan tak lupa saya meminta saran beserta kritik agar tercapai nya makalah yang baik serta benar.









DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah, Muhammad, 1995, Ushul Fiqh, Kairo: Dar-al-Fikr al-Arobi 
Dr. Saiban, Kasuwi MA. 2005, Metode Ijtihad Ibnu Rusyd, Kutub Minar
Drs. Ma`sum Zain, Muhammad MA. 2008, Ilmu Ushul al-Fiqh, Darul Hikmah Jombang dan Maktabah al-Syarifah al-Khodjah
Ijttihad Kontemporer Dr.yusuf Qordlowi ,Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan, Risalah Gusti.
Khasbullah, Ali, 1997, Ushul al-Tasyri`Islami, Dar el-Fikr al-Arabi


[1] Ali Khasbullah,....hal  68
[2] Abu Hamid al-Ghozali ,....al-Mustashfa
[3] Abu Zahrah,....Ushul fiqh ,hal. 397
[4] Abdul Wahab Kholaf,....Ilmu Ushul Fiqh, hal. 202
[5] al-Amidi,....al-Ihkam fi Ushulil ahkam
[6] Wahbah Zuhaili,...Ushul,..hal. op.cit.
[7] Wahbah,....Ushul,...juz II hal. 1082
[8] Al-Syaukani,....Irsyad, op.cit.hal. 2588
[9] Wahbah,...Ibid, hal. 1220
[10] Abu Ishāq Ibrāhīm ibn Mūsā al-Gharnatī al-Syāthibī, al-Muwāfaqāt fī Ushūl al-Ahkām, Jilid 4, (Dār al-Fikr, t.th.), hal. 96
[11] Wahbah Zuhaili, Ushūl al-Fiqh al-Islāmī, (Dār al-Fikr, al-Thab’ah al-Ūlā, 1986), hal.    1041-1042
[12] Abdul Wahhāb Khalaf, ‘Ilm.,hal. 52-91
[13] Al-Syāthibī, al-Muwāfaqāt., hal. 47
[14] Ibid., hal. 93

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "unsur unsur ijtihad"

Post a Comment