loading...
MAKALAH
SEJARAH HUKUM ISLAM
TENTANG
PERIODE KEBANGKITAN HUKUM ISLAM (MASA MODERN)



DISUSUN OLEH :

M. Ali Hasim                                   14124449
Muhammad Yoga Guntara         14124569
Dwi Samsiani                                  14124009

Hukum Ekonomi Syari’ah (HESy C)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN JURAI SIWO METRO)

TA. 2015/2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT bahwa dengan Rahmat dan Ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan “sejarah hukum islam” dengan materi “periode kebangkitan hukum islam” sebagai tugas Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) Semester empat.
            Sebelumnya penulis ingin berterimakasih kepada dosen matakuliah sejarah hukum islam dan juga Teman-teman dan keluarga yang telah membantu. Adapun isi dari Makalah ini adalah tentang Hukum Bersama dalam perkawinan.
Semoga Makalah ini dapat menambah wawasan kita semua dan dapat memenuhi kriteria tugas yang bapak berikan serta dapat menjadi nilai tambah untuk penulis.
Tak ada yang sempurna, begitu pula dengan penulisan makalah ini. Oleh sebab itu penulis menerima kritik positif dari pembaca sebagai perbaikan bagi penulis dimasa yang akan datang. Semoga makalah ini bermanfat.
Akhir kata penulis ucapkan “Terima Kasih


DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR............................................................................................................. i
DAFTAR ISI......................................................................................................................... ii
BAB I.................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN................................................................................................................. 1
A.Latar Belakang...................................................................................................... 1
B.Rumusan Masalah................................................................................................. 2
C.Tujuan Masalah..................................................................................................... 2
BAB II................................................................................................................................. 3
PEMBAHASAN.................................................................................................................... 3
A. Masa Kebangkitan Hukum Islam........................................................................... 3
B.Tokoh Pembaru Kebangkitan Hukum Islam............................................................. 6
C.Tranformasi Melalui Peraturan Perundang-undangan............................................... 10
D. Kodifikasi Hukum Fiqh........................................................................................ 12
BAB III............................................................................................................................... 13
PENUTUP......................................................................................................................... 13
A.Kesimpulan......................................................................................................... 13
B.Saran.................................................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 14

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Pemikiran hukum Islam berkembang sejalan dengan perkembangan dan perluasan wilayah Islam melalui kontak dengan budaya masyarakat setempat. Hal ini terjadi karena sesungguhnya, al-Qur’an pada mulanya diwahyukan sebagai respon terhadap situasi masyarakat saat itu yang kemudian tumbuh dan berkembang menjadi lebih luas lagi. Hukum-hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an itu pun, masih ada yang memerlukan penafsiran dan mempunyai potensi untuk berkembang. Jika pada masa Rasulullah SAW, dalam memahami ayat-ayat semacam itu, penjelasan diberikan langsung oleh beliau dengan Sunnahnya. Akan tetapi, setelah Rasulullah wafat dan wilayah kekuasaan Islam semakin luas, penjelasan itu dilakukan oleh para Sahabat. Tanggung jawab itu terus berlanjut dan beralih kepada para tokoh atau ulama mujtahid pada generasi berikutnya.
Semangat ijtihad senantiasa dihidupkan oleh para fuqaha, meskipun di antara mereka ada yang lebih memilih status quo. Jalaluddin al-Suyuti (w. 911 H/1505 M) memberikan kritikan tajam kepada mereka yang mengabadikan taqlid, dan Ibn Taimiyyah (661 H-728 H) juga tidak membenarkan pendapat yang menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup.
Dalam era modern ini, umat Islam dihadapkan pada tantangan untuk menjawab pertanyaan tentang di mana posisi Islam dalam kehidupan modern, serta bentuk Islam yang bagaimana yang harus ditampilkan dalam menghadapi modernisasi. Munculnya arus modernisasi melahirkan beragam reaksi dari beberapa ulama. Ada yang menerima dan ada yang menentang.
Pada makalah-makalah sebelumnya yang telah diterangkan oleh para penulisnya, dapat disimpulkan bahwa perkembangan Hukum Islam itu telah mengalami perkembangan beberapa priode, dan dalam pembagian yang disebutkan oleh Hudhari Bek dalam bukunya yang sangat terkenal Tarikh Al-Tasyri Al-Islamiâ disebutkan periode perkembangan Hukum Islam sebagai berikut :
1. Priode Pertama, disebut sebagai Priode Pembinaan Hukum pada Masa Rasulullah SAW.
2. Priode Kedua, disebut sebagai Priode Pembinaan Hukum pada Masa Sahabat-Sahabat Besar.
3. Priode Ketiga, disebut sebagai Priode Pembinaan Hukum pada Masa Sahabat Kecil danTabiin.
4. Priode Keempat, disebut Priode Pembinaan Hukum pada Masa Awal Abad Kedua sampaipertengahan Abad Keempat Hijriyah.
5. Priode Kelima, disebut Priode Mendirikan dan Menguatkan Madzhab, Tersiarnya Diskusi dan Perdebatan.
6. Priode Keenam, disebut dengan Priode Keruntuhan yang ditandai dengan jatuhnya Baghdad di Tangan Holako atau disebut juga dengan Priode Taklid / Kejumudan.
7. Priode Ketujuh adalah Priode Kebangkitan dan inilah yang dimaksudkan dalam makalah ini.

B.      Rumusan masalah
1.       Periode kebangkitan hukum islam (masa modern)
2.       Kondisi politik dan hukum islam
3.       Tranformasi fiqh melalui peraturan perundang-undangan

C.      Tujuan masalah
1.       Mengetahui periode kebangkitan hukum islam
2.       Mengetahui kondisi politik hukum islam
3.       Mengetahui tranformasi melalui perkembangan hukum islam


BAB II
PEMBAHASAN

A.     Masa Kebangkitan Hukum Islam

Kebangunan dan kemunduran hukum Islam sangat erat hubungannya dengan  kebangunan kaum muslimin dan kemundurannya dalam lapangan politik. Usaha-usaha ke arah kebangu­nan tersebut sudah dimulai sejak abad-abad yang lalu, akan tetapi masih terbatas sifatnya dan terjadi dalam lingkungan yang terbatas pula. Baru setelah kesadaran nasional meliputi kaum muslimin dan mereka sudah menginsafi kedudukan dirinya sebagai golongan yang mundur, maka barulah mulai kebangunan universal yang meliputi seluruh kaum muslimin dan negeri-negeri Islam.
            Sebagai contoh di jazirah Arabia, Muhammad bin Abdul Wahab (wafat 1206 H) mempelopori Gerakan Wahabi. Di Libia muncul Muhammad bin as- Sunusi (1791 – 1858 M) yang melancarkan dakwahnya di negeri-negeri Afrika Utara. Di Sudan, Al-Mahdi (1843 – 1885 M) berjuang mengembalikan Islam kepada kesederhanaan dan toleransinya yang semula dan mengembalikan dasar hukum kepada al-Qur’an dan Sunnah. Di Mesir muncul pikiran-pikiran Jamaluddin Afghani, Syekh Muhammad Abduh dan muridnya Sayid Muhammad Rasyid Ridha, yang menyerukan umat Islam seluruh dunia supaya melepaskan diri dari rantai taklid, kembali kepada ajaran salaf yang berdasarkan Qur’an dan Sunnah. Tafsir Al-Manar banyak sekali memuat uraian dan tafsir ayat yang menyangkut tentang kebebasan berpikir dan kecaman terhadap taklid. Pengaruh tafsir itu dirasakan pula di berbagai Negara termasuk di Indonesia.
            Dari sudut pembinaan dan pembangunan Hukum Islam, amatlah besarnya jasa dan kepeloporan Turki Utsmani, terutama sejak tampuk pemerintahan imperium Islam itu dipegang oleh Sultan Salim I (1512 – 1520 M) yang dilanjutkan oleh Sultan Sulaiman I (1520 – 1560 M) dan sultan-sultan berikutnya.[1]


Setelah Perkembangan Hukum Islam mengalami masa kelesuan, kemunduran dan tidak ada perkembangan dalam bidang Ijtihad, apalagi ditandai dengan tertutupnya pintu ijtihad, dalam beberapa abad lamanya, maka perkembangan pemikiran Islam bangkit kembali yang itu dimulai pada bagian kedua abad ke 19. Kebangkitan kembali pemikiran Islam tersebut timbul sebagai reaksi terhadap sikap taqlid yang telah membawa kemunduran hukum Islam. Muncullah gerakan-gerakan baru di antara gerakan-gerakan para ahli hukum yang menyarankan kembali kepada al-Quran dan Sunnah. Menurut Harun Nasution, pada abad ke-19 merupakan zaman kebangkitan Islam. Ekspedisi Napoleon di Mesir yang berakhir di tahun 1801 M, telah membuka mata dunia Islam, terutama Turki dan Mesir, akan kemunduran dan kelemahan umat Islam mulai berpikir dan mencari jalan untuk mengembalikan balance of power, yang  telah pincang dan membahayakan Islam. Kontak Islam dengan Barat sekarang berlainan sekali dengan kontak Islam dengan Barat di periode klasik. Pada waktu itu (periode klasik) Islam sedang menaik dan Barat sedang dalam kegelapan dan sekarang sebaliknya, Islam sedang dalam kegelapan dan Barat sedang menaik. Kini Islam yang ingin belajar dari Barat.
Dalam ekpedisinya ke Mesir, Napoleon tidak hanya membawa tentara. Dalam rombongannya terdapat 500 kaum sipil dan 500 wanita. Di antara kaum sipil itu terdapat 167 ahli dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Napoleon juga membawa dua set alat percetakan dengan huruf latin, Arab dan Yunani. Ekpedisi itu datang bukan hanya untuk kepentingan militer, tetapi juga untuk keperluan ilmiah. Untuk hal tersebut akhir ini dibentuk suatu lembaga ilmiah bernama Institut d ’Egypte, yang mempunyai empat bahagian Ekonomi-Politik dan Bahagian Sastra-Seni. Publikasi yang diterbitkan lembaga ini bernama La Decade Egyptienne. Di samping itu ada lagi suatu majalah, Le Courier d ‘Egypte, yang diterbitkan oleh Marc Auriel, seorang pengusaha yang ikut dengan ekspedisi Napoleon. Sebelum kedatangan ekspedisi ini orang Mesir tidak kenal pada percetakan dan majalah atau surat kabar.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperlihatkan Perancis mencengangkan umat Islam pada waktu itu, hal ini terlihat dari komentar yang dikemukakan oleh Al-Jabarti, seorang ulama Al-Azhar dn penulis sejarah, ia mengatakan “Saya lihat di sana (Institut d ‘Egypte) benda-benda dan percobaan-percobaan ganjil yang menghasilkan hal-hak yang besar untuk dapat ditangkap oleh akal seperti yang ada pada diri kita.
Demikianlah kesan seorang cendikiawan Islam pada waktu itu terhadap kemajuan yang dialami Barat. Ini menggambarkan betapa mundurnya umat Islam di ketika itu. Keadaan menjadi berbalik seratus delapan puluh derajat. Kalau diperiode klasik orang Barat yang terkagum-kagum melihat perkembangan peradaban Islam, di periode modern kaum Muslim yang heran melihat kecanggihan teknologi yang diperagakan Barat.
Ide-ide pembaharuan yang dibawa olep ekpedisi Napoleon ke Mesir, belum mempunyai pengaruh yang nyata bagi umat Islam. Tetapi dalam perkembangan kontak dengan Barat di abad ke-19, seiring dengan bertambahnya jamaah haji, ide-ide itu makin jelas dan kemudian diadopsi dan mulai dipraktekkan. Bagaimanapun, ekspedisi yang dilakukan oleh Napoleon telah membuka mata umat Islam akan kelemahan dan kemunduran mereka.
Dengan demikian timbullah apa yang disebut pemikiran dan aliran pembaharuan atau modernisasi dalam Islam. Pemuka-pemuka Islam mengeluarkan pemikiran-pemikiran bagaimana caranya membuat umat Islam maju kembali sebagaimana di periode klasik. Usaha-usaha ke arah itu pun mulai dijalankan dalam kalangan umat Islam. Tetapi dalam pada itu Barat juga bertambah maju.[2]
Menyadari akan kemunduran dan kelemahan yang disebabkan oleh kaum penjajah Barat itu, maka pada awal abad XIII H, timbullah ide-ide, usaha-usaha dan gerakan-gerakan pembebasan diri dan ilmu pengetahuan islam dari penjajah dan pengaruh barat, merasa perlu mengadakan pembaharuan yang universal, meliputi bidang pendidikan, social, politik, ekonomi, militer dan lain sebagainya di dunia islam.
Menurut para ulama dan fuqoha ada empat pola utama yang menonjol pada saat kebangkitan Hukum Islam, yaitu :
  1. Modernisme, pola pemikiran ini dipelopori oleh sejumlah pemikir dan sarjana muslim, pendukung pola ini mendakwakan bahwa Hukum Islam tidak lagi mampu merespon berbagai perkembangan baru yang muncul dari multidimensionalitas kebutuhan dan kepentingan manusia yang kini cenderung lebih kritis akibat keluasan  informasi dan pengalaman. Gagasan utama pendukung pola ini, untuk mengimbangi dan menjawab tantangan – tantangan baru kita harus berani meninggalkan fiqih yang sudah ada dan membangun fiqih baru yang kontekstual.
  2. Survivalisme, pendukung pola ini bercita – cita mebangun pemikiran fiqih dengan berpijak pada mazhab – mazhab fiqh yang sudah ada. Keluasan  fiqhyah, menurut pendukung pola ini harus di kembangkan. Hingga sampai saat ini.
  3. Tradisionalisme, pendukung pola ini menekankan keharusan kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Satu hasil yang menarik dari cita-cita pola ini adalah penolakannya yang sangat keras terhadap ikhtilaf atau perbedaan pendapat. Mereka menolak bahwa ikhtilaf umat merupakan rahmat. Persoalan ikhtilaf ini, menurut mereka harus dirujuk pada pada hadis, bukan pada pendapat – pendapat para imam mazhab.
  4. Neo-survivalisme, pola terakhir ini disebut neo-survivalisme, kerena para pendukungnya selain menawarkan fiqih pengembangan juga menampakkan concernya yang besar terhadap kepedulian sosial. Karenanya, dalam banyak hal, mereka mengajukan suatu pendekatan transformative dalam memahami fiqih dan upaya mencari relefansinya dengan persoalan-persoalan kekinian.[3]
Sebagai reaksi terhadap sikap taqlid, pada abad ke-14 telah timbul seorang mujtahid besar yang menghembuskan udara baru dan segar dalam dunia pemikiran agama dan hukum. Namanya Ibnu Taimiyah (1263-1328) dan muridnya Ibnu Qayyim al-Jauziah (1292-1356). Hanya saja barangkali pemikiran-pemikiran hukum Islam yang mereka ijtihadkan khususnya Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyyim, tidak menyebar luas kepada dunia Islam sebagai akibat dari kondisi dan situasi dunia Islam yang berada dalam kebekuan, kemunduran dan bahkan berada dalam cengkeraman orang lain, ditambah lagi dengan sarana dan prasarana penyebaran ide-ide seperti percetakan, media massa dan elektronik serta yang lain sebagainya tidak ada, padahal sesungguhnya ijtihad-ijtihad yang mereka hasilkan sangat berilian, menggelitik dan sangat berpengaruh bagi orang yang mendalaminya secara serius.
B.     Tokoh Pembaru Kebangkitan Hukum Islam
1.       Jamaluddin Al Afghani
Nama panjang beliau adalah Muhammad Jamaluddin Al Afghani, dilahirkan di Asadabad, Afghanistan pada tahun 1254 H/1838 M. Ayahanda beliau bernama Sayyid Safdar al-Husainiyyah, yang nasabnya bertemu dengan Sayyid Ali al-Turmudzi (seorang perawi hadits yang masyhur yang telah lama bermigrasi ke Kabul) juga dengan nasab Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Pada usia 8 tahun Al-Afghani telah memperlihatkan kecerdasan yang luar biasa, beliau tekun mempela­jari bahasa Arab, sejarah, matematika, fil­safat, fiqh dan ilmu keislaman lainnya. Dan pada usia 18 tahun ia telah menguasai hampir seluruh cabang ilmu pengetahuan meliputi filsafat, hukum, sejarah, kedokteran, astronomi, matematika, dan metafisika. Al-Afghani segera dikenal sebagai profil jenius yang penguasaannya terhadap ilmu pengetahuan bak ensiklopedia.
Tidak ada perbedaan diantara Al-Afghani dengan Ibnu Taymiyyah (seperti kebanyakan ulama dari generasi awal) lebih banyak berhujjah dengan menggunakan dalil-dalil agama dan pendekatan logika (mantiqy) dalam menegakkan panji/bendera yang dibawanya, seperti yang kita bisa lihat dari karya-karya beliau. Sedangkan Al Afghani lebih kepada pendekatan provokasi (dalam term positif) atau membakar semangat, menyadarkan ummat atas realitas keterpurukan mereka, serta menjalin komunikasi dengan para ulama dan pemimpin kaum Muslimin.
Kontribusi Al-Afghani
Pertama; Perlawanan terhadap kolonial barat yang menjajah negri-negri Islam (terutama terhadap penjajah Inggris). Beliau turut ambil bagian dalam peperangan kemerdekaan India pada bulan Mei 1857, juga mengadakan ziarah ke negri-negri Islam yang berada di bawah tekanan imperialis dan kolonialis barat seperti tersebut di atas.
Kedua; upaya melawan pemikiran naturalisme di India, yang mengingkari adanya hakikat ketuhanan. Menurutnya, dasar aliran ini merupakan hawa nafsu yang menggelora dan hanya sebatas egoisme sesaat yang berlebihan tanpa mempertimbangkan kepentingan umat manusia secara keseluruhan.
Hal ini dikarenakan adanya pengingkaran terhadap hakikat Tuhan dan anggapan bahwa materi mampu membuka pintu lebar-lebar bagi terhapusnya kewajiban manusia sebagai hamba Tuhan. Dari situlah Al-Afghani berusaha menghancurkan pemikiran ini dengan menunjukkan bahwa agama mampu memperbaiki kehidupan masyarakat dengan syariat dan ajaran-ajarannya.
  1. Muhammad Abduh
Muhammad Abduh lahir di suatu desa di Mesir Hilir.Di desa di mana tidak dapat diketahui dengan pasti, karena ibu bapaknya adalah orang desa biasa yang tidak mementingkan tanggal dan tempat tanggal lahir anak-anaknya.Tahun 1849 adalah tahun yang umum dipakai sebagai tanggal lahirnya.
 Taklid kepada ulama lama tidak perlu dipertahankan bahkan mesti diperangai, karena taklid inilah yang membuat umat Islam berada dalam kemunduran dan tidak dapat maju.Muhammad Abduh dengan keras mengkritik ulama-ulama yang menimbulkan faham taklid. Sikap ulama ini, membuat umat Islam berhenti berpikir dan akal mereka berkarat. Sikap umat Islam yang berpegang teguh pada pendapat ulama klasik, dipandang berlainan betul dengan sikap umat Islam dahulu.al-Qur’an dan Hadis, melarang umat Islam bersifat taklid.
Pendapat tentang pembukaan pintu ijtihad dan pemberantasan taklid, berdasarkan kepercaan Muhammad Abduh pada kekuatan akal. Menurut pendapatnya al-Qur’an berbicara, bukan hanya kepada hati manusia, tetapi juga kepada akalnya.Islam memandang akal mempunyai kedudukan tinggi.Allah menunjukan perintah-perintah dan larangan-laranganNya kepada akal.
Kepercayaan pada kekuatan akal adalah dasar peradaban suatu bangsa. Akal terlepas dari ikatan tradisi akan dapat memikirkan dan memperoleh jalan-jalan yang membawa pada kemajuan. Pemikiran akallah yang menimbulkan ilmu pengetahuan.[4]




  1. Syeikh Muhammad As-Sirhindi

      Dia bernama Ahmad bin Abdul Ahad bin Zainal Abidin As-Sirhindi. Nasabnya bersambung pada Umar bin Khattab. Dilahirkan pada malam Jum’at tanggal 14 Syawal tahun 971 H bertepatan dengan tahun 1563 M di kota Sirhind di negeri India. Kedua orang tuanya memberikan nama Syeikh Ahmad.
      Syeikh Ahmad mempunyai beberapa manhaj untuk mencapai fase kebangkitan :
a).  Dia banyak memberikan pengajaran dan pendidikan kepada umat untuk mempersiapkan mereka berdakwah dalam level yang tinggi.
b).  Dia mengkritik pada pemikiran filsafat yang menyimpang dan pemikiran tasawuf yang batil, dari para penganut wihdatul wujud dan ittihad (yakni orang bisa bersatu dengan Tuhan).
c).  Dia memerangi semua bentuk syirik.
d)      Dia mengajak manusia pada tauhid yang murni dan keabadian risalah Muhammad Rasulullah, dan mengajak umat muslim untuk bersatu dalam pangkuan Islam.
e).  Dia menentang kalangan Syiah di lingkungan istana pada masa Nuruddin Jangahir bin Raja Akbar dan mengangkat panji-panji Ahli Sunnah dengan terang-terangan.
f).   Dia memperhatikan para pemimpin yang tampak perilaku agamis dari mereka dan ada gelora cinta pada kebaikan.
g).  Imam As-Sirhindi mendekati raja dan menjadi orang dekatnya dan dia tidak membiarkan orang-orang jahat berada bersamanya.

  1. Sayyid Ahmad Syahid

      Sayyid Ahmad Syahid lahir pada tahun 1786 di Rae Bareli, suatu tempat yang terletak di dekat Lucknow.
      Ajaran Sayyid Ahmad Syahid mengenai tauhid mengandung hal-hal berikut :
a).  Yang boleh disembah hanya Tuhan, secara langsung tanpa perantara dan tanpa upacara yang berlebih-lebihan.
b).  Kepada makhluk tidak boleh diberikan sifat-sifat Tuhan. Malaikat, roh, wali dan lain-lain tidak mempunyai kekuasaan apa-apa untuk menolong manusia dalam mengatasi kesulitannya.
c).  Sunnah (tradisi) yang diterima hanyalah sunnah Nabi dan sunah yang timbul di zaman Khalifah Yang Empat.
      Sayyid Ahmad Syahid juga menentang taqlid pada pendapat ulama, termasuk di dalamnya pendapat keempat Imam Besar. Oleh karena itu berpegang pada mazhab tidak menjadi soal yang penting, sungguh pun ia sendiri adalah pengikut mazhab Abu Hanifah. Karena taqlid ditentang pintu ijtihad baginya terbuka dan tidak tertutup.[5]

  1. Muhammad Abdul Wahab
Salah satu pelopor pembaruan dalam dunia Islam Arab adalah suatu aliran yang bernama Wahabiyah yang sangat berpengaruh di abad ke-19. Pelopornya adalah Muhammad Abdul Wahab (1703-1787 M) yang berasal dari nejed, Saudi Arabia. Pemikiran yang dikemukakan oleh Muhammad Abdul Wahab adalah upaya memperbaiki kedudukan umat Islam dan merupakan reaksi terhadap paham tauhid yang terdapat di kalangan umat Islam saat itu. Paham tauhid mereka telah bercampur aduk oleh ajaran-ajaran tarikat yang sejak abad ke-13 tersebar luas di dunia Islam
Disetiap negara Islam yang dikunjunginya Muhammad Abdul Wahab melihat makam-makam syekh tarikat yang bertebaran. Setiap kota bahkan desa-desa mempunyai makam Syekh atau walinya masing-masing. Kemakam-makam itulah umat Islam pergi dan meminta pertolongan dari syekh atau wali yang dimakamkan disana untuk menyelesaikan masalah kehidupan mereka sehari-hari. Ada yang meminta diberi anak, jodoh disembuhkan dari penyakit, dan ada pula yang minta diberi kekayaan. Syekh atau wali yang telah meninggal. Syekh atau wali yang telah meninggal dunia itu dipandang sebagai orang yang berkuasa untuk meyelesaikan segala macam persoalan yang dihadapi manusia di dunia ini. Perbuatan ini menurut paham Wahabiah termasuk syirik karena permohonan dan doa tidak lagi dipanjatkan kepada Allah SWT
Masalah tauhid memang merupakan ajaran yang paling dasar dalam Islam oleh karena itu, tidak mengherankan apabila Muhammad Abdul Wahab memusatkan perhatiannya pada persoalan ini. Ia memiliki pokok-pokok pemikiran sebagai berikut.
  1. Yang harus disembah hanyalah Allah SWT dan orang yang menyembah selain dari Nya telah dinyatakan sebagai musyrik
  2. Kebanyakan orang Islam bukan lagi penganut paham tauhid yang sebenarnya karena mereka meminta pertolongan bukan kepada Allah, melainkan kepada syekh, wali atau kekuatan gaib. Orang Islam yang berperilaku demikian juga dinyatakan sebagai musyrik
  3. Menyebut nama nabi, syekh atau malaikat sebagai pengantar dalam doa juga dikatakan sebagai syirik
  4. Meminta syafaat selain kepada Allah juga perbuatan syrik
  5. Bernazar kepada selain Allah juga merupakan sirik
  6. Memperoleh pengetahuan selain dari Al Qur’an, hadis, dan qiyas merupakan kekufuran
  7. Tidak percaya kepada Qada dan Qadar Allah merupakan kekufuran.
  8. Menafsirkan Al Qur’an dengan takwil atau interpretasi bebas juga termasuk kekufuran.
Untuk mengembalikan kemurnian tauhid tersebut, makam-makam yang banyak dikunjungi denngan tujuan mencari syafaat, keberuntungan dan lain-lain sehingga membawa kepada paham syirik, mereka usahakan untuk dihapuskan. Pemikiran-pemikiran Muhammad Abdul Wahab yang mempunyai pengaruh pada perkembangan pemikiran pembaruan di abad ke-19 adalah sebagai berikut.
  1. Hanya al-Quran dan Hadis yang merupakan sumber asli ajaran-ajaran Islam. Pendapat ulama bukanlah sumber
  2. Taklid kepada ulama tidak dibenarkan
  3. Pintu ijtihad senantiasa terbuka dan tidak tertutup
Muhammad Abdul Wahab merupakan pemimpin yang aktif berusaha mewujudkan pemikirannya. Ia mendapat dukungan dari Muhammad Ibn Su’ud dan putranya Abdul Aziz di Nejed. Paham-paham Muhammad Abdul Wahab tersebar luas dan pengikutnya bertambah banyak sehingga di tahun 1773 M mereka dapat menjadi mayoritas di Ryadh. Di tahun 1787, beliau meninggal dunia tetapi ajaran-ajarannya tetap hidup dan mengambil bentuk aliran yang dikenal dengan nama Wahabiyah.

C.      Tranformasi Fiqh Melalui Peraturan Perundang-Undangan
Bermulanya zaman ini pada akhir tahun ketiga belas Hijirah ketika zaman pemerintahan kerajaan Uthmaniah. Pada ketika itu, kerajaan Uthmaniah telah menggunakan fiqh sebagai satu undang-undang dan dijadikan dalam bentuk akta dan amandemen. Para hakim menggunakannya sebagai rujukan di dalam menjalankan proses penghakiman. Ia dijadikan sebagai ganti kepada kaedah lama yaitu dengan merujuk kepada kitab-kitab fiqh di dalam mazhab yang satu. Tugas ini diberikan kepada segolongan ulama besar diketuai oleh Menteri Keadilan untuk membentuk satu undang-undang dalam urusan peradaban. Pekerjaan  tersebut diselesaikan oleh pihak Lujnah pada tahun 1285-1293 H, bersamaan tahun 1869-1876 M. Para ulama telah menyusun 1851 akta yang terkandung di dalam 16 buku yang diambil daripada fiqh Hanafi dengan memilih perkara yang terbaik seiring dengan perubahan zaman dan juga yang mendatangkan kebaikan kepada manusia. Himpunan akta-akta dinamakan ini sebagai Majallah al­Ahkam al-’Adliah dan dijadikan sebagai perlembagaan negara. Ia digunakan pada zaman pemerintahan Kerajaan Uthmaniah sehingga dihentikan penggunaannya selepas kejatuhan kerajaan Uthmaniah. Majallah ini dibahagikan kepada bebarapa fasal seperti berikut; Jual beli, sewaan, kafalah, hiwalah, pajak gadai, amanah, hibah (anugerah), rompak dan pencurian, paksaan, syuf’ah, jenis-jenis syarikat, wakalah, sulh (rundingan), Iqrar, dakwaan, keterangan, dan kehakiman.
Pada mukadimah kitab ini, dimulakan dengan fasal permulaan, mengandungi sejumlah kaedah-kaedahkulliyyah berjumlah 77 kaedah. Kemudian berlaku banyak perubahan pada undang-undang tersebut dan ada juga yang dibuang dan digantikan dengan undang-undang lain pada tahun 1880 Masihi. Selepas itu terdapat undang­undang lain yang digazetkan di negara-negara Islam lain. Sebahagian besarnya disusun berkenaan dengan al-Ahwal al-Syaksiyyah atau undang-undang keluarga yang dikuatkan dengan fiqh Islam tanpa disempitkan dengan mazhab-mazhab tertentu. Negara Turki merupakan negara pertama yang mengeluarkan undang-undang berkenaan dengan undang-undang keluarga dengan nama Qanun Huquq al-A’ilah (undang-undang hak-hak kekeluargaan) dan dikeluarkan pada tahun 1917. Pada tahun tersebut diresmikan Undang-undang Hukum Keluarga menggunakan prinsip Talfiq dan Tahayyur (Menggabungkan beberapa pendapat kemudian dirumuskan satu hukum yang sesuai dengan kemaslahatan dan perkembangan semasa). Undang-undang tersebut disebut The Ottoman Law of Family Rights.
Pada zaman ini para ulama memberikan perhatian yang sangat besar terhadap fiqih Islam, baik dengan cara menulis buku ataupun mengkaji. Sehingga fiqih Islam nisa mengembalikan kegemilangannya melalui tangan para ulama’, menjahui metode yang rumit dan menyusahkan, menggunakan konsep ilmiah dengan kajian yang mendalam dan terfokus. Apabila kita ingin menuliskan beberapa indikasi kebangkitan fiqih Islam pada zaman ini dari aspek sistem kajian dan penulisan, dapat dirincikan sebagai berikut:
            a.       Memberikan perhatian khusus terhadap kajian mazhab-mazhab dan pendapat-pendapat fiqhiyah yang sudah diakui tanpa ada perlakuan khusus antara satu mazhab dengan mazhab lain. Penguasa pada zaman ini  berpegang kepada mazhab tertentu  dalam ber – taqlid dan qadha’, serta memaksa rakyatnya untuk mengikuti mazhab tertentu seperti yang dilakukan oleh Dinasti Ayyubiyah ketika mereka mambatasi kurikulum Al – Azhar hanya dengan mazhab Syi’ah.
            b.      Memberikan perhatian khusus terhadap kajian fiqih tematik.Pada zaman ini, kajian fiqih sudah beralih pada kajian kitab – kitab fiqih klasik yang tidak memuat rumus dan kejumudan.
            c.       Memberikan perhatian khusus terhadap fiqih komparasi. Pada masa ini para peneliti fiqih lebih focus ke kajian fiqih komparasi. Metode ini memilki kelebihan, yakni dapat memunculkan teori – teori umum dalam fiqih Islam dan teori baru seperti teori akad, kepemilikan, harta, dan pendayagunaan hak yang tidak proposional serta yang lainnya yang dapat kita lihat dari hasil karya ilmiah. Dalam muktamar internasional tentang perbandingan UU yang dilaksanakan di lohre tahun 1931, kemudian 1937, dan konfrensi Advokasi Internasional tahun 1948, para penelis menyatakan, “ Fiqih Islam memiliki nilai perundang – undangan yang tinggi dan tidak bisa ditandingi sehingga harus dijadikan sumber perundang – undangan civil, semua prinsipnya bisa mewujudkan peradaban dan kemajuan, lebih mampu dari perundang – undangan lain dalam memenuhi kebutuhan umat manusia, merealisasikan kemaslahatan bangsa, mudah dirujuk dan dikaji serta diambil produk hukumnya”.
            d.      Mendirikan lembaga-lembaga kajian ilmiah dan menerbitkan ensiklopedi fiqih.Diantara indikasi kebangkitan fiqih pada zaman ini adalah didirikannya beberapa lembaga kajian diberbagai negeri Islam dan terbitnya beberapa insiklopedi fiqh.

D.     Kodifikasi Hukum Fiqh
Kodifikasi adalah upaya mengumpulkan beberapa masalah fiqih dalam satu bab dalam bentuk butiran bernomor.1Dan jika ada setiap masalah akan dirujuk kepada materi yang sudah disusun dan pendapat ini akan menjadi putus dalam menyelesaikan perselisihan.
Tujuan dari kodifikasi adalah untuk merealisasikan dua tujuan sebagai berikut :
            1.      Menyatukan semua hukum dalam setiap masalah yang memiliki kemiripan, sehingga tidak terjadi tumpang tindih. Contohnya para hakim tidak boleh memberikan keputusan di luar undang-undang yang telah ditetapkan untuk menghindari keputusan yang kontradiktif.
            2.      Memudahkan para hakim untuk merujuk semua hukum fiqih dengan susunan yang sitematik.
Menurut seorang orientalis inggris moderat, W. Montgomery bahwa bebrapa bagian dari fiqih telah disusun dalam bentuk undang – undang sejak dari masa Nabi Saw masih hidup. Undang – undang yang merupakan UUD Islam tersebut, oleh ibnu Hisyam diberi nama dengan Kitabun Nabi. Kemudian diterjemahkan kedalam bahasa inggris dengan nama The Constitution of Medina. Pada tahun 1956 oleh Montgomery sendiri dan pada tahun 1961 di terjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh H. Zainal Abidin Ahmad, dengan nama Piagam Nabi Muhammad SAW. Kemudian atas anjuran Ibnu Muqaffa’, khalifah al – Mansur (w 163 H) Meminta agar Imam Malik bersedia mengumpulkan bahasan Fiqih dalam satu madzhab untuk dijidikan sebagai undang-undang yang berlaku bagi Daulah Umayyah. Akhirnya Imam Malik menyusun kitab al – muwattha. Usaha kearah pengkodifikasian ini, kenudian dilanjutkan oelh ilama india pada masa Sultan Muhammad (w 1138). Tetapi mereka hanya dapat mengumpulkan sejumlah fatwa dan keputusan pengadilan kedalam sebuah kitab yang diberikan nama al – fatwa al – Hindiyah.


BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan

  Kebangunan dan kemunduran hukum Islam sangat erat hubungannya dengan  kebangunan kaum muslimin dan kemundurannya dalam lapangan politik Sebagai contoh di jazirah Arabia, Muhammad bin Abdul Wahab (wafat 1206 H) mempelopori Gerakan Wahabi. Di Libia muncul Muhammad bin as- Sunusi (1791 – 1858 M) yang melancarkan dakwahnya di negeri-negeri Afrika Utara. Di Sudan, Al-Mahdi (1843 – 1885 M) berjuang mengembalikan Islam kepada kesederhanaan dan toleransinya yang semula dan mengembalikan dasar hukum kepada al-Qur’an dan Sunnah
  Menurut para ulama dan fuqoha ada empat pola utama yang menonjol pada saat kebangkitan Hukum Islam, yaitu :
  Modernisme
  Survivalisme
  Tradisionalisme
  Neo-survivalisme

  Tokoh  yang membangkitkan kembali semangat ijtihad dan menolak taqlid, diantaranya :
  Jamaluddin Al – Afghani
  Muhamma Abduh
  Syeikh Muhammad As-Sirhindi
  Sayyid Ahmad Syahid
  Muhammad Abdul Wahab

B.      Saran
Apabila dalam pengetikan makalah terdapat berbagai kata yang salah kami meminta maaf yang sebesar-besarnya dan kami meminta saran dan kritik untuk makalah kami selanjutnya.



DAFTAR PUSTAKA
 Ali, Muhammad Daud, Prof. H. SH., Hukum Islam,  Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta : Bulan Bintang, 1996
Mun’im A. Sirrry. . Sejarah Fiqih Islam. Islamabad: Risalah Gusti,1995
Rahmat Djatnika, Dkk. . Perkembangan Ilmu Fiqih Di Dunia Islam. Jakarta: Dept. Agama RI, 1986




[1] Ali, Muhammad Daud, Prof. H. SH., Hukum Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004)
[2] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1996)
[3] Mun’im A. Sirrry. 1995. Sejarah Fiqih Islam. Islamabad: Risalah Gusti
[4] Rahmat Djatnika, Dkk. 1986. Perkembangan Ilmu Fiqih Di Dunia Islam. Jakarta: Dept. Agama RI. Hlm: 46
[5] Ibid.Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1996) hal.58

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to " "

Post a Comment