loading...
MAKALAH
SEJARAH
HUKUM ISLAM
TENTANG
“PERIODE
KEBANGKITAN HUKUM ISLAM (MASA MODERN)”
DISUSUN OLEH :
M. Ali
Hasim 14124449
Muhammad
Yoga Guntara 14124569
Dwi
Samsiani 14124009
Hukum Ekonomi Syari’ah (HESy C)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN JURAI
SIWO METRO)
TA. 2015/2016
KATA
PENGANTAR
Puji syukur penulis
panjatkan kehadirat Allah SWT bahwa dengan Rahmat dan Ridho-Nya penulis dapat
menyelesaikan “sejarah hukum islam” dengan materi “periode kebangkitan
hukum islam” sebagai tugas Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) Semester empat.
Sebelumnya penulis
ingin berterimakasih kepada dosen matakuliah sejarah hukum islam dan juga Teman-teman dan keluarga yang telah membantu. Adapun isi dari Makalah ini adalah tentang Hukum Bersama dalam perkawinan.
Semoga Makalah ini
dapat menambah wawasan kita semua dan dapat memenuhi kriteria tugas yang bapak berikan serta dapat menjadi nilai tambah untuk penulis.
Tak ada yang sempurna,
begitu pula dengan penulisan makalah ini. Oleh sebab itu penulis menerima kritik positif dari pembaca sebagai perbaikan bagi
penulis dimasa yang akan datang. Semoga makalah ini bermanfat.
Akhir kata penulis ucapkan “Terima Kasih
DAFTAR
ISI
COVER
KATA
PENGANTAR............................................................................................................. i
DAFTAR
ISI......................................................................................................................... ii
BAB
I.................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN................................................................................................................. 1
A.Latar
Belakang...................................................................................................... 1
B.Rumusan
Masalah................................................................................................. 2
C.Tujuan
Masalah..................................................................................................... 2
BAB
II................................................................................................................................. 3
PEMBAHASAN.................................................................................................................... 3
A.
Masa Kebangkitan Hukum Islam........................................................................... 3
B.Tokoh
Pembaru Kebangkitan Hukum Islam............................................................. 6
C.Tranformasi
Melalui Peraturan Perundang-undangan............................................... 10
D.
Kodifikasi Hukum Fiqh........................................................................................ 12
BAB
III............................................................................................................................... 13
PENUTUP......................................................................................................................... 13
A.Kesimpulan......................................................................................................... 13
B.Saran.................................................................................................................. 13
DAFTAR
PUSTAKA........................................................................................................... 14
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemikiran hukum Islam berkembang sejalan dengan perkembangan dan perluasan
wilayah Islam melalui kontak dengan budaya masyarakat setempat. Hal ini
terjadi karena sesungguhnya, al-Qur’an pada mulanya diwahyukan sebagai respon
terhadap situasi masyarakat saat itu yang kemudian tumbuh dan berkembang
menjadi lebih luas lagi. Hukum-hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an itu
pun, masih ada yang memerlukan penafsiran dan mempunyai potensi untuk
berkembang. Jika pada masa Rasulullah SAW, dalam memahami ayat-ayat semacam
itu, penjelasan diberikan langsung oleh beliau dengan Sunnahnya. Akan tetapi,
setelah Rasulullah wafat dan wilayah kekuasaan Islam semakin luas, penjelasan
itu dilakukan oleh para Sahabat. Tanggung jawab itu terus berlanjut dan beralih
kepada para tokoh atau ulama mujtahid pada generasi berikutnya.
Semangat ijtihad senantiasa dihidupkan oleh para fuqaha, meskipun di antara
mereka ada yang lebih memilih status quo. Jalaluddin al-Suyuti (w. 911 H/1505
M) memberikan kritikan tajam kepada mereka yang mengabadikan taqlid, dan Ibn
Taimiyyah (661 H-728 H) juga tidak membenarkan pendapat yang menyatakan bahwa
pintu ijtihad telah tertutup.
Dalam era modern ini, umat Islam dihadapkan pada tantangan untuk menjawab
pertanyaan tentang di mana posisi Islam dalam kehidupan modern, serta bentuk
Islam yang bagaimana yang harus ditampilkan dalam menghadapi modernisasi.
Munculnya arus modernisasi melahirkan beragam reaksi dari beberapa ulama. Ada
yang menerima dan ada yang menentang.
Pada makalah-makalah sebelumnya yang telah diterangkan oleh para
penulisnya, dapat disimpulkan bahwa perkembangan Hukum Islam itu telah
mengalami perkembangan beberapa priode, dan dalam pembagian yang disebutkan
oleh Hudhari Bek dalam bukunya yang sangat terkenal Tarikh Al-Tasyri Al-Islamiâ disebutkan periode perkembangan Hukum Islam sebagai berikut :
1. Priode
Pertama, disebut sebagai Priode Pembinaan Hukum pada Masa Rasulullah SAW.
2. Priode Kedua, disebut sebagai Priode Pembinaan Hukum pada Masa Sahabat-Sahabat Besar.
3. Priode Ketiga, disebut sebagai Priode Pembinaan Hukum pada Masa Sahabat Kecil danTabiin.
4. Priode Keempat, disebut Priode Pembinaan Hukum pada Masa Awal Abad Kedua sampaipertengahan Abad Keempat Hijriyah.
2. Priode Kedua, disebut sebagai Priode Pembinaan Hukum pada Masa Sahabat-Sahabat Besar.
3. Priode Ketiga, disebut sebagai Priode Pembinaan Hukum pada Masa Sahabat Kecil danTabiin.
4. Priode Keempat, disebut Priode Pembinaan Hukum pada Masa Awal Abad Kedua sampaipertengahan Abad Keempat Hijriyah.
5. Priode
Kelima, disebut Priode Mendirikan dan Menguatkan Madzhab, Tersiarnya Diskusi
dan Perdebatan.
6. Priode
Keenam, disebut dengan Priode Keruntuhan yang ditandai dengan jatuhnya Baghdad
di Tangan Holako atau disebut juga dengan Priode Taklid / Kejumudan.
7. Priode
Ketujuh adalah Priode Kebangkitan dan inilah yang dimaksudkan dalam makalah
ini.
B.
Rumusan masalah
1. Periode kebangkitan
hukum islam (masa modern)
2. Kondisi politik dan
hukum islam
3. Tranformasi fiqh
melalui peraturan perundang-undangan
C.
Tujuan masalah
1. Mengetahui periode kebangkitan
hukum islam
2. Mengetahui kondisi
politik hukum islam
3. Mengetahui tranformasi
melalui perkembangan hukum islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Masa Kebangkitan Hukum Islam
Kebangunan dan kemunduran hukum Islam sangat erat
hubungannya dengan kebangunan kaum
muslimin dan kemundurannya dalam lapangan politik. Usaha-usaha ke arah kebangunan
tersebut sudah dimulai sejak abad-abad yang lalu, akan tetapi masih terbatas
sifatnya dan terjadi dalam lingkungan yang terbatas pula. Baru setelah
kesadaran nasional meliputi kaum muslimin dan mereka sudah menginsafi kedudukan
dirinya sebagai golongan yang mundur, maka barulah mulai kebangunan universal
yang meliputi seluruh kaum muslimin dan negeri-negeri Islam.
Sebagai contoh di jazirah Arabia,
Muhammad bin Abdul Wahab (wafat 1206 H) mempelopori Gerakan Wahabi. Di Libia
muncul Muhammad bin as- Sunusi (1791 – 1858 M) yang melancarkan dakwahnya di
negeri-negeri Afrika Utara. Di Sudan, Al-Mahdi (1843 – 1885 M) berjuang
mengembalikan Islam kepada kesederhanaan dan toleransinya yang semula dan
mengembalikan dasar hukum kepada al-Qur’an dan Sunnah. Di Mesir muncul
pikiran-pikiran Jamaluddin Afghani, Syekh Muhammad Abduh dan muridnya Sayid
Muhammad Rasyid Ridha, yang menyerukan umat Islam seluruh dunia supaya melepaskan
diri dari rantai taklid, kembali kepada ajaran salaf yang berdasarkan Qur’an
dan Sunnah. Tafsir Al-Manar banyak sekali memuat uraian dan tafsir ayat yang
menyangkut tentang kebebasan berpikir dan kecaman terhadap taklid. Pengaruh
tafsir itu dirasakan pula di berbagai Negara termasuk di Indonesia.
Dari sudut pembinaan dan
pembangunan Hukum Islam, amatlah besarnya jasa dan kepeloporan Turki Utsmani,
terutama sejak tampuk pemerintahan imperium Islam itu dipegang oleh Sultan
Salim I (1512 – 1520 M) yang dilanjutkan oleh Sultan Sulaiman I (1520 – 1560 M)
dan sultan-sultan berikutnya.[1]
Setelah Perkembangan Hukum Islam mengalami masa kelesuan, kemunduran dan
tidak ada perkembangan dalam bidang Ijtihad, apalagi ditandai dengan
tertutupnya pintu ijtihad, dalam beberapa abad lamanya, maka perkembangan
pemikiran Islam bangkit kembali yang itu dimulai pada bagian kedua abad ke 19.
Kebangkitan kembali pemikiran Islam tersebut timbul sebagai reaksi terhadap
sikap taqlid yang telah membawa kemunduran hukum Islam. Muncullah
gerakan-gerakan baru di antara gerakan-gerakan para ahli hukum yang menyarankan
kembali kepada al-Quran dan Sunnah. Menurut Harun Nasution, pada abad ke-19
merupakan zaman kebangkitan Islam. Ekspedisi Napoleon di Mesir yang berakhir di
tahun 1801 M, telah membuka mata dunia Islam, terutama Turki dan Mesir, akan
kemunduran dan kelemahan umat Islam mulai berpikir dan mencari jalan untuk
mengembalikan balance of power, yang telah pincang dan
membahayakan Islam. Kontak Islam dengan Barat sekarang berlainan sekali dengan
kontak Islam dengan Barat di periode klasik. Pada waktu itu (periode klasik)
Islam sedang menaik dan Barat sedang dalam kegelapan dan sekarang sebaliknya,
Islam sedang dalam kegelapan dan Barat sedang menaik. Kini Islam yang ingin
belajar dari Barat.
Dalam ekpedisinya ke Mesir, Napoleon tidak hanya membawa tentara. Dalam
rombongannya terdapat 500 kaum sipil dan 500 wanita. Di antara kaum sipil itu
terdapat 167 ahli dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Napoleon juga membawa
dua set alat percetakan dengan huruf latin, Arab dan Yunani. Ekpedisi itu
datang bukan hanya untuk kepentingan militer, tetapi juga untuk keperluan
ilmiah. Untuk hal tersebut akhir ini dibentuk suatu lembaga ilmiah bernama
Institut d ’Egypte, yang mempunyai empat bahagian Ekonomi-Politik dan Bahagian
Sastra-Seni. Publikasi yang diterbitkan lembaga ini bernama La Decade
Egyptienne. Di samping itu ada lagi suatu majalah, Le Courier d ‘Egypte, yang
diterbitkan oleh Marc Auriel, seorang pengusaha yang ikut dengan ekspedisi
Napoleon. Sebelum kedatangan ekspedisi ini orang Mesir tidak kenal pada
percetakan dan majalah atau surat kabar.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperlihatkan Perancis
mencengangkan umat Islam pada waktu itu, hal ini terlihat dari komentar yang
dikemukakan oleh Al-Jabarti, seorang ulama Al-Azhar dn penulis sejarah, ia
mengatakan “Saya lihat di sana (Institut d ‘Egypte) benda-benda dan
percobaan-percobaan ganjil yang menghasilkan hal-hak yang besar untuk dapat
ditangkap oleh akal seperti yang ada pada diri kita.
Demikianlah kesan seorang cendikiawan Islam pada waktu itu terhadap
kemajuan yang dialami Barat. Ini menggambarkan betapa mundurnya umat Islam di
ketika itu. Keadaan menjadi berbalik seratus delapan puluh derajat. Kalau
diperiode klasik orang Barat yang terkagum-kagum melihat perkembangan peradaban
Islam, di periode modern kaum Muslim yang heran melihat kecanggihan teknologi
yang diperagakan Barat.
Ide-ide pembaharuan yang dibawa olep ekpedisi Napoleon ke Mesir, belum
mempunyai pengaruh yang nyata bagi umat Islam. Tetapi dalam perkembangan kontak
dengan Barat di abad ke-19, seiring dengan bertambahnya jamaah haji, ide-ide
itu makin jelas dan kemudian diadopsi dan mulai dipraktekkan. Bagaimanapun,
ekspedisi yang dilakukan oleh Napoleon telah membuka mata umat Islam akan
kelemahan dan kemunduran mereka.
Dengan demikian timbullah apa yang disebut pemikiran dan aliran pembaharuan
atau modernisasi dalam Islam. Pemuka-pemuka Islam mengeluarkan
pemikiran-pemikiran bagaimana caranya membuat umat Islam maju kembali
sebagaimana di periode klasik. Usaha-usaha ke arah itu pun mulai dijalankan
dalam kalangan umat Islam. Tetapi dalam pada itu Barat juga bertambah maju.[2]
Menyadari akan kemunduran dan kelemahan yang disebabkan oleh kaum penjajah Barat
itu, maka pada awal abad XIII H, timbullah ide-ide, usaha-usaha dan
gerakan-gerakan pembebasan diri dan ilmu pengetahuan islam dari penjajah dan
pengaruh barat, merasa perlu mengadakan pembaharuan yang universal, meliputi
bidang pendidikan, social, politik, ekonomi, militer dan lain sebagainya di
dunia islam.
Menurut para ulama dan fuqoha ada empat pola utama
yang menonjol pada saat kebangkitan Hukum Islam, yaitu :
- Modernisme,
pola
pemikiran ini dipelopori oleh sejumlah pemikir dan sarjana muslim, pendukung
pola ini mendakwakan bahwa Hukum Islam tidak lagi mampu merespon berbagai
perkembangan baru yang muncul dari multidimensionalitas kebutuhan dan
kepentingan manusia yang kini cenderung lebih kritis akibat keluasan
informasi dan pengalaman. Gagasan utama pendukung pola ini, untuk
mengimbangi dan menjawab tantangan – tantangan baru kita harus berani
meninggalkan fiqih yang sudah ada dan membangun fiqih baru yang
kontekstual.
- Survivalisme, pendukung pola ini bercita – cita mebangun
pemikiran fiqih dengan berpijak pada mazhab – mazhab fiqh yang sudah ada.
Keluasan fiqhyah, menurut pendukung
pola ini harus di kembangkan. Hingga sampai saat ini.
- Tradisionalisme, pendukung pola ini menekankan keharusan kembali
kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Satu hasil yang menarik dari cita-cita
pola ini adalah penolakannya yang sangat keras terhadap ikhtilaf atau
perbedaan pendapat. Mereka menolak bahwa ikhtilaf umat merupakan rahmat.
Persoalan ikhtilaf ini, menurut mereka harus dirujuk pada pada hadis,
bukan pada pendapat – pendapat para imam mazhab.
- Neo-survivalisme,
pola
terakhir ini disebut neo-survivalisme, kerena para pendukungnya selain
menawarkan fiqih pengembangan juga menampakkan concernya yang besar
terhadap kepedulian sosial. Karenanya, dalam banyak hal, mereka mengajukan
suatu pendekatan transformative dalam memahami fiqih dan upaya mencari
relefansinya dengan persoalan-persoalan kekinian.[3]
Sebagai reaksi
terhadap sikap taqlid, pada abad ke-14 telah timbul seorang mujtahid besar yang
menghembuskan udara baru dan segar dalam dunia pemikiran agama dan hukum.
Namanya Ibnu Taimiyah (1263-1328) dan muridnya Ibnu Qayyim al-Jauziah
(1292-1356). Hanya saja barangkali pemikiran-pemikiran hukum Islam yang mereka
ijtihadkan khususnya Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyyim, tidak menyebar luas kepada
dunia Islam sebagai akibat dari kondisi dan situasi dunia Islam yang berada
dalam kebekuan, kemunduran dan bahkan berada dalam cengkeraman orang lain,
ditambah lagi dengan sarana dan prasarana penyebaran ide-ide seperti
percetakan, media massa dan elektronik serta yang lain sebagainya tidak ada,
padahal sesungguhnya ijtihad-ijtihad yang mereka hasilkan sangat berilian,
menggelitik dan sangat berpengaruh bagi orang yang mendalaminya secara serius.
B.
Tokoh Pembaru Kebangkitan Hukum Islam
1.
Jamaluddin Al Afghani
Nama panjang
beliau adalah Muhammad Jamaluddin Al Afghani, dilahirkan di Asadabad,
Afghanistan pada tahun 1254 H/1838 M. Ayahanda beliau bernama Sayyid Safdar
al-Husainiyyah, yang nasabnya bertemu dengan Sayyid Ali al-Turmudzi (seorang
perawi hadits yang masyhur yang telah lama bermigrasi ke Kabul) juga dengan
nasab Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Pada usia 8
tahun Al-Afghani telah memperlihatkan kecerdasan yang luar biasa, beliau tekun
mempelajari bahasa Arab, sejarah, matematika, filsafat, fiqh dan ilmu
keislaman lainnya. Dan pada usia 18 tahun ia telah menguasai hampir seluruh
cabang ilmu pengetahuan meliputi filsafat, hukum, sejarah, kedokteran,
astronomi, matematika, dan metafisika. Al-Afghani segera dikenal sebagai profil
jenius yang penguasaannya terhadap ilmu pengetahuan bak ensiklopedia.
Tidak ada
perbedaan diantara Al-Afghani dengan Ibnu Taymiyyah (seperti kebanyakan ulama
dari generasi awal) lebih banyak berhujjah dengan menggunakan dalil-dalil agama
dan pendekatan logika (mantiqy) dalam menegakkan panji/bendera yang
dibawanya, seperti yang kita bisa lihat dari karya-karya beliau. Sedangkan Al
Afghani lebih kepada pendekatan provokasi (dalam term positif) atau membakar
semangat, menyadarkan ummat atas realitas keterpurukan mereka, serta menjalin
komunikasi dengan para ulama dan pemimpin kaum Muslimin.
Kontribusi
Al-Afghani
Pertama; Perlawanan terhadap kolonial barat yang menjajah
negri-negri Islam (terutama terhadap penjajah Inggris). Beliau turut ambil
bagian dalam peperangan kemerdekaan India pada bulan Mei 1857, juga mengadakan
ziarah ke negri-negri Islam yang berada di bawah tekanan imperialis dan
kolonialis barat seperti tersebut di atas.
Kedua; upaya melawan pemikiran naturalisme di India, yang
mengingkari adanya hakikat ketuhanan. Menurutnya, dasar aliran ini merupakan
hawa nafsu yang menggelora dan hanya sebatas egoisme sesaat yang berlebihan
tanpa mempertimbangkan kepentingan umat manusia secara keseluruhan.
Hal ini
dikarenakan adanya pengingkaran terhadap hakikat Tuhan dan anggapan bahwa
materi mampu membuka pintu lebar-lebar bagi terhapusnya kewajiban manusia
sebagai hamba Tuhan. Dari situlah Al-Afghani berusaha menghancurkan pemikiran
ini dengan menunjukkan bahwa agama mampu memperbaiki kehidupan masyarakat
dengan syariat dan ajaran-ajarannya.
- Muhammad
Abduh
Muhammad Abduh
lahir di suatu desa di Mesir Hilir.Di desa di mana tidak dapat diketahui dengan
pasti, karena ibu bapaknya adalah orang desa biasa yang tidak mementingkan
tanggal dan tempat tanggal lahir anak-anaknya.Tahun 1849 adalah tahun yang umum
dipakai sebagai tanggal lahirnya.
Taklid kepada ulama lama tidak perlu
dipertahankan bahkan mesti diperangai, karena taklid inilah yang membuat umat
Islam berada dalam kemunduran dan tidak dapat maju.Muhammad Abduh dengan keras
mengkritik ulama-ulama yang menimbulkan faham taklid. Sikap ulama ini, membuat
umat Islam berhenti berpikir dan akal mereka berkarat. Sikap umat Islam yang
berpegang teguh pada pendapat ulama klasik, dipandang berlainan betul dengan
sikap umat Islam dahulu.al-Qur’an dan Hadis, melarang umat Islam bersifat
taklid.
Pendapat
tentang pembukaan pintu ijtihad dan pemberantasan taklid, berdasarkan kepercaan
Muhammad Abduh pada kekuatan akal. Menurut pendapatnya al-Qur’an berbicara,
bukan hanya kepada hati manusia, tetapi juga kepada akalnya.Islam memandang
akal mempunyai kedudukan tinggi.Allah menunjukan perintah-perintah dan
larangan-laranganNya kepada akal.
Kepercayaan pada kekuatan akal adalah dasar peradaban
suatu bangsa. Akal terlepas dari ikatan tradisi akan dapat memikirkan dan
memperoleh jalan-jalan yang membawa pada kemajuan. Pemikiran akallah yang
menimbulkan ilmu pengetahuan.[4]
- Syeikh Muhammad As-Sirhindi
Dia bernama Ahmad bin Abdul Ahad bin Zainal Abidin As-Sirhindi. Nasabnya
bersambung pada Umar bin Khattab. Dilahirkan pada malam Jum’at tanggal 14
Syawal tahun 971 H bertepatan dengan tahun 1563 M di kota Sirhind di negeri
India. Kedua orang tuanya memberikan nama Syeikh Ahmad.
Syeikh Ahmad mempunyai beberapa manhaj untuk mencapai fase kebangkitan :
a). Dia
banyak memberikan pengajaran dan pendidikan kepada umat untuk mempersiapkan
mereka berdakwah dalam level yang tinggi.
b). Dia
mengkritik pada pemikiran filsafat yang menyimpang dan pemikiran tasawuf yang
batil, dari para penganut wihdatul wujud dan ittihad (yakni orang bisa bersatu
dengan Tuhan).
c). Dia
memerangi semua bentuk syirik.
d)
Dia mengajak manusia pada tauhid yang murni dan keabadian risalah Muhammad
Rasulullah, dan mengajak umat muslim untuk bersatu dalam pangkuan Islam.
e). Dia
menentang kalangan Syiah di lingkungan istana pada masa Nuruddin Jangahir bin
Raja Akbar dan mengangkat panji-panji Ahli Sunnah dengan terang-terangan.
f).
Dia memperhatikan para pemimpin yang tampak perilaku agamis dari mereka dan ada
gelora cinta pada kebaikan.
g). Imam
As-Sirhindi mendekati raja dan menjadi orang dekatnya dan dia tidak membiarkan
orang-orang jahat berada bersamanya.
- Sayyid Ahmad Syahid
Sayyid Ahmad Syahid lahir pada tahun 1786 di Rae Bareli, suatu tempat yang terletak di dekat Lucknow.
Ajaran Sayyid Ahmad Syahid mengenai tauhid mengandung hal-hal berikut :
a). Yang
boleh disembah hanya Tuhan, secara langsung tanpa perantara dan tanpa upacara
yang berlebih-lebihan.
b).
Kepada makhluk tidak boleh diberikan sifat-sifat Tuhan. Malaikat, roh, wali dan
lain-lain tidak mempunyai kekuasaan apa-apa untuk menolong manusia dalam
mengatasi kesulitannya.
c).
Sunnah (tradisi) yang diterima hanyalah sunnah Nabi dan sunah yang timbul di
zaman Khalifah Yang Empat.
Sayyid Ahmad Syahid juga menentang taqlid pada pendapat ulama, termasuk di
dalamnya pendapat keempat Imam Besar. Oleh karena itu berpegang pada mazhab
tidak menjadi soal yang penting, sungguh pun ia sendiri adalah pengikut mazhab
Abu Hanifah. Karena taqlid ditentang pintu ijtihad baginya terbuka dan tidak
tertutup.[5]
- Muhammad Abdul Wahab
Salah satu
pelopor pembaruan dalam dunia Islam Arab adalah suatu aliran yang bernama
Wahabiyah yang sangat berpengaruh di abad ke-19. Pelopornya adalah Muhammad
Abdul Wahab (1703-1787 M) yang berasal dari nejed, Saudi Arabia. Pemikiran yang
dikemukakan oleh Muhammad Abdul Wahab adalah upaya memperbaiki kedudukan umat
Islam dan merupakan reaksi terhadap paham tauhid yang terdapat di kalangan umat
Islam saat itu. Paham tauhid mereka telah bercampur aduk oleh ajaran-ajaran
tarikat yang sejak abad ke-13 tersebar luas di dunia Islam
Disetiap negara
Islam yang dikunjunginya Muhammad Abdul Wahab melihat makam-makam syekh tarikat
yang bertebaran. Setiap kota bahkan desa-desa mempunyai makam Syekh atau
walinya masing-masing. Kemakam-makam itulah umat Islam pergi dan meminta
pertolongan dari syekh atau wali yang dimakamkan disana untuk menyelesaikan
masalah kehidupan mereka sehari-hari. Ada yang meminta diberi anak, jodoh
disembuhkan dari penyakit, dan ada pula yang minta diberi kekayaan. Syekh atau
wali yang telah meninggal. Syekh atau wali yang telah meninggal dunia itu
dipandang sebagai orang yang berkuasa untuk meyelesaikan segala macam persoalan
yang dihadapi manusia di dunia ini. Perbuatan ini menurut paham Wahabiah
termasuk syirik karena permohonan dan doa tidak lagi dipanjatkan kepada Allah
SWT
Masalah tauhid
memang merupakan ajaran yang paling dasar dalam Islam oleh karena itu, tidak
mengherankan apabila Muhammad Abdul Wahab memusatkan perhatiannya pada
persoalan ini. Ia memiliki pokok-pokok pemikiran sebagai berikut.
- Yang harus disembah hanyalah Allah SWT dan orang
yang menyembah selain dari Nya telah dinyatakan sebagai musyrik
- Kebanyakan orang Islam bukan lagi penganut paham
tauhid yang sebenarnya karena mereka meminta pertolongan bukan kepada
Allah, melainkan kepada syekh, wali atau kekuatan gaib. Orang Islam yang
berperilaku demikian juga dinyatakan sebagai musyrik
- Menyebut nama nabi, syekh atau malaikat sebagai
pengantar dalam doa juga dikatakan sebagai syirik
- Meminta syafaat selain kepada Allah juga
perbuatan syrik
- Bernazar kepada selain Allah juga merupakan sirik
- Memperoleh pengetahuan selain dari Al Qur’an,
hadis, dan qiyas merupakan kekufuran
- Tidak percaya kepada Qada dan Qadar Allah
merupakan kekufuran.
- Menafsirkan Al Qur’an dengan takwil atau
interpretasi bebas juga termasuk kekufuran.
Untuk
mengembalikan kemurnian tauhid tersebut, makam-makam yang banyak dikunjungi
denngan tujuan mencari syafaat, keberuntungan dan lain-lain sehingga membawa
kepada paham syirik, mereka usahakan untuk dihapuskan. Pemikiran-pemikiran
Muhammad Abdul Wahab yang mempunyai pengaruh pada perkembangan pemikiran
pembaruan di abad ke-19 adalah sebagai berikut.
- Hanya al-Quran dan Hadis yang merupakan sumber
asli ajaran-ajaran Islam. Pendapat ulama bukanlah sumber
- Taklid kepada ulama tidak dibenarkan
- Pintu ijtihad senantiasa terbuka dan tidak
tertutup
Muhammad Abdul
Wahab merupakan pemimpin yang aktif berusaha mewujudkan pemikirannya. Ia
mendapat dukungan dari Muhammad Ibn Su’ud dan putranya Abdul Aziz di Nejed. Paham-paham
Muhammad Abdul Wahab tersebar luas dan pengikutnya bertambah banyak sehingga di
tahun 1773 M mereka dapat menjadi mayoritas di Ryadh. Di tahun 1787, beliau
meninggal dunia tetapi ajaran-ajarannya tetap hidup dan mengambil bentuk aliran
yang dikenal dengan nama Wahabiyah.
C.
Tranformasi Fiqh
Melalui Peraturan Perundang-Undangan
Bermulanya zaman ini
pada akhir tahun ketiga belas Hijirah ketika zaman pemerintahan kerajaan
Uthmaniah. Pada ketika itu, kerajaan Uthmaniah telah menggunakan fiqh sebagai
satu undang-undang dan dijadikan dalam bentuk akta dan amandemen. Para hakim
menggunakannya sebagai rujukan di dalam menjalankan proses penghakiman. Ia
dijadikan sebagai ganti kepada kaedah lama yaitu dengan merujuk kepada
kitab-kitab fiqh di dalam mazhab yang satu. Tugas ini diberikan kepada
segolongan ulama besar diketuai oleh Menteri Keadilan untuk membentuk satu
undang-undang dalam urusan peradaban. Pekerjaan tersebut diselesaikan
oleh pihak Lujnah pada tahun 1285-1293 H, bersamaan tahun 1869-1876 M. Para ulama
telah menyusun 1851 akta yang terkandung di dalam 16 buku yang diambil daripada
fiqh Hanafi dengan memilih perkara yang terbaik seiring dengan perubahan zaman
dan juga yang mendatangkan kebaikan kepada manusia. Himpunan akta-akta
dinamakan ini sebagai Majallah alAhkam al-’Adliah dan
dijadikan sebagai perlembagaan negara. Ia digunakan pada zaman pemerintahan
Kerajaan Uthmaniah sehingga dihentikan penggunaannya selepas kejatuhan kerajaan
Uthmaniah. Majallah ini dibahagikan kepada bebarapa fasal seperti berikut; Jual
beli, sewaan, kafalah, hiwalah, pajak gadai, amanah, hibah (anugerah), rompak
dan pencurian, paksaan, syuf’ah, jenis-jenis syarikat, wakalah, sulh
(rundingan), Iqrar, dakwaan, keterangan, dan kehakiman.
Pada mukadimah kitab
ini, dimulakan dengan fasal permulaan, mengandungi sejumlah kaedah-kaedahkulliyyah berjumlah
77 kaedah. Kemudian berlaku banyak perubahan pada undang-undang tersebut dan
ada juga yang dibuang dan digantikan dengan undang-undang lain pada tahun 1880
Masihi. Selepas itu terdapat undangundang lain yang digazetkan di
negara-negara Islam lain. Sebahagian besarnya disusun berkenaan dengan al-Ahwal
al-Syaksiyyah atau undang-undang keluarga yang dikuatkan dengan fiqh
Islam tanpa disempitkan dengan mazhab-mazhab tertentu. Negara Turki merupakan
negara pertama yang mengeluarkan undang-undang berkenaan dengan undang-undang
keluarga dengan nama Qanun Huquq al-A’ilah (undang-undang
hak-hak kekeluargaan) dan dikeluarkan pada tahun 1917. Pada tahun tersebut
diresmikan Undang-undang Hukum Keluarga menggunakan prinsip Talfiq dan Tahayyur (Menggabungkan
beberapa pendapat kemudian dirumuskan satu hukum yang sesuai dengan
kemaslahatan dan perkembangan semasa). Undang-undang tersebut disebut The
Ottoman Law of Family Rights.
Pada zaman ini para
ulama memberikan perhatian yang sangat besar terhadap fiqih Islam, baik dengan
cara menulis buku ataupun mengkaji. Sehingga fiqih Islam nisa mengembalikan
kegemilangannya melalui tangan para ulama’, menjahui metode yang rumit dan
menyusahkan, menggunakan konsep ilmiah dengan kajian yang mendalam dan
terfokus. Apabila kita ingin menuliskan
beberapa indikasi kebangkitan fiqih Islam pada zaman ini dari aspek sistem
kajian dan penulisan, dapat dirincikan sebagai berikut:
a. Memberikan perhatian
khusus terhadap kajian mazhab-mazhab dan pendapat-pendapat fiqhiyah yang sudah
diakui tanpa ada perlakuan khusus antara satu mazhab dengan mazhab lain.
Penguasa pada zaman ini berpegang kepada mazhab tertentu dalam ber
– taqlid dan qadha’, serta memaksa rakyatnya untuk mengikuti mazhab tertentu
seperti yang dilakukan oleh Dinasti Ayyubiyah ketika mereka mambatasi kurikulum
Al – Azhar hanya dengan mazhab Syi’ah.
b.
Memberikan perhatian
khusus terhadap kajian fiqih tematik.Pada zaman ini, kajian fiqih sudah beralih
pada kajian kitab – kitab fiqih klasik yang tidak memuat rumus dan kejumudan.
c.
Memberikan perhatian
khusus terhadap fiqih komparasi. Pada masa ini para peneliti fiqih lebih focus
ke kajian fiqih komparasi. Metode ini memilki kelebihan, yakni dapat
memunculkan teori – teori umum dalam fiqih Islam dan teori baru seperti teori
akad, kepemilikan, harta, dan pendayagunaan hak yang tidak proposional serta
yang lainnya yang dapat kita lihat dari hasil karya ilmiah. Dalam muktamar
internasional tentang perbandingan UU yang dilaksanakan di lohre tahun 1931,
kemudian 1937, dan konfrensi Advokasi Internasional tahun 1948, para penelis
menyatakan, “ Fiqih Islam memiliki nilai perundang – undangan yang tinggi dan
tidak bisa ditandingi sehingga harus dijadikan sumber perundang –
undangan civil, semua prinsipnya bisa mewujudkan peradaban dan
kemajuan, lebih mampu dari perundang – undangan lain dalam memenuhi kebutuhan
umat manusia, merealisasikan kemaslahatan bangsa, mudah dirujuk dan dikaji
serta diambil produk hukumnya”.
d.
Mendirikan
lembaga-lembaga kajian ilmiah dan menerbitkan ensiklopedi fiqih.Diantara
indikasi kebangkitan fiqih pada zaman ini adalah didirikannya beberapa lembaga
kajian diberbagai negeri Islam dan terbitnya beberapa insiklopedi fiqh.
D. Kodifikasi Hukum Fiqh
Kodifikasi adalah upaya
mengumpulkan beberapa masalah fiqih dalam satu bab dalam bentuk butiran
bernomor.1Dan jika ada setiap masalah akan dirujuk kepada materi
yang sudah disusun dan pendapat ini akan menjadi putus dalam menyelesaikan
perselisihan.
Tujuan dari kodifikasi adalah untuk
merealisasikan dua tujuan sebagai berikut :
1.
Menyatukan semua hukum
dalam setiap masalah yang memiliki kemiripan, sehingga tidak terjadi tumpang
tindih. Contohnya para hakim tidak boleh memberikan keputusan di luar
undang-undang yang telah ditetapkan untuk menghindari keputusan yang
kontradiktif.
2.
Memudahkan para hakim
untuk merujuk semua hukum fiqih dengan susunan yang sitematik.
Menurut seorang
orientalis inggris moderat, W. Montgomery bahwa bebrapa bagian dari fiqih telah
disusun dalam bentuk undang – undang sejak dari masa Nabi Saw masih hidup.
Undang – undang yang merupakan UUD Islam tersebut, oleh ibnu Hisyam diberi nama
dengan Kitabun Nabi. Kemudian diterjemahkan kedalam bahasa inggris dengan nama
The Constitution of Medina. Pada tahun 1956 oleh Montgomery sendiri dan pada
tahun 1961 di terjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh H. Zainal Abidin Ahmad,
dengan nama Piagam Nabi Muhammad SAW. Kemudian atas anjuran Ibnu Muqaffa’,
khalifah al – Mansur (w 163 H) Meminta agar Imam Malik bersedia mengumpulkan
bahasan Fiqih dalam satu madzhab untuk dijidikan sebagai undang-undang yang
berlaku bagi Daulah Umayyah. Akhirnya Imam Malik menyusun kitab al
– muwattha. Usaha kearah pengkodifikasian ini, kenudian dilanjutkan oelh ilama
india pada masa Sultan Muhammad (w 1138). Tetapi mereka hanya dapat
mengumpulkan sejumlah fatwa dan keputusan pengadilan kedalam sebuah kitab yang
diberikan nama al – fatwa al – Hindiyah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kebangunan dan kemunduran hukum Islam
sangat erat hubungannya dengan
kebangunan kaum muslimin dan kemundurannya dalam lapangan politik Sebagai contoh di jazirah Arabia, Muhammad bin Abdul
Wahab (wafat 1206 H) mempelopori Gerakan Wahabi. Di Libia muncul Muhammad bin
as- Sunusi (1791 – 1858 M) yang melancarkan dakwahnya di negeri-negeri Afrika
Utara. Di Sudan, Al-Mahdi (1843 – 1885 M) berjuang mengembalikan Islam kepada
kesederhanaan dan toleransinya yang semula dan mengembalikan dasar hukum kepada
al-Qur’an dan Sunnah
Menurut para ulama dan fuqoha ada empat pola utama
yang menonjol pada saat kebangkitan Hukum Islam, yaitu :
Modernisme
Survivalisme
Tradisionalisme
Neo-survivalisme
Tokoh yang
membangkitkan kembali semangat ijtihad dan menolak taqlid, diantaranya :
Jamaluddin Al – Afghani
Muhamma Abduh
Syeikh Muhammad As-Sirhindi
Sayyid Ahmad Syahid
Muhammad Abdul Wahab
B.
Saran
Apabila dalam pengetikan
makalah terdapat berbagai kata yang salah kami meminta maaf yang
sebesar-besarnya dan kami meminta saran dan kritik untuk makalah kami
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad Daud, Prof. H. SH., Hukum Islam,
Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2004
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah
Pemikiran dan Gerakan, Jakarta : Bulan Bintang, 1996
Mun’im A. Sirrry. . Sejarah Fiqih Islam. Islamabad: Risalah Gusti,1995
Rahmat
Djatnika, Dkk. . Perkembangan
Ilmu Fiqih Di Dunia Islam. Jakarta: Dept. Agama RI, 1986
[2] Harun Nasution, Pembaharuan
dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta : Bulan Bintang,
1996)
[4] Rahmat Djatnika, Dkk.
1986. Perkembangan Ilmu Fiqih Di Dunia Islam. Jakarta: Dept. Agama RI. Hlm: 46
[5] Ibid.Harun Nasution, Pembaharuan
dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta : Bulan Bintang,
1996) hal.58
0 Response to " "
Post a Comment